TRIBUNNEWS.COM - Tenaga medis di Sudan menghadapi kondisi mengerikan dan kelangkaan persediaan obat-obatan.
Para profesional, lapor NY Times, juga membuka rumah sakit lapangan di tengah pertempuran yang kian memanas.
Pertempuran meletus 15 April antara kelompok paramiliter yang disebut Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Keduanya dipimpin oleh jenderal yang bertikai.
Konflik hingga kini telah menewaskan lebih dari 500 orang dan ribuan lainnya terluka.
Perang saudara yang masih berlangsung menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik dapat berubah menjadi krisis kemanusiaan yang lebih luas.
Baca juga: Kekacauan di Port Sudan ketika ribuan orang bergegas kabur dari konflik militer
Serikat Pekerja Dokter Sudan memperingatkan bahwa sistem perawatan kesehatan bisa runtuh total dalam beberapa hari.
"Rumah sakit dibombardir, dua pertiga dari rumah sakit di Khartoum telah ditutup," terang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hanya 16 persen rumah sakit di ibu kota Sudan, pusat pertempuran, yang berfungsi dengan kapasitas penuh, menurut WHO.
Diketahui, lebih dari selusin petugas kesehatan telah tewas.
"Kami menerima banyak telepon setiap hari: 'Ke mana saya harus pergi?'" kata Dr. Abdullah Atia, sekretaris jenderal serikat dokter.
"Ini adalah pertanyaan yang tidak dapat kami jawab," ungkapnya.
Baca juga: Potensi Terjadi Krisis Kemanusiaan, PBB Kirim Utusan Darurat ke Sudan
Dikutip Guardian, petugas medis Sudan mengatakan melihat tumpukan mayat di jalan-jalan ibu kota, Khartoum.
Orang-orang juga minum air tercemar.
Ledakan dan penembakan hebat terdengar di Omdurman, kota kembar Khartoum di seberang Sungai Nil, pada Senin (1/5/2023).
Ada pula laporan ledakan dan bentrokan lebih lanjut di distrik Bahri dan Kafouri di Khartoum Utara.
Di selatan Khartoum, penduduk melaporkan bahwa RSF menembakkan rudal anti-pesawat sebagai tanggapan atas pengeboman oleh SAF.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)