TRIBUNNEWS.COM - Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter menandatangani komitmen untuk melindungi warga sipil, tapi belum menyepakati gencatan senjata.
Sudah hampir satu bulan konflik antara SAF dan RSF paramiliter berkecamuk di Sudan.
Laporan terbaru menyebutkan korban tewas dalam perang saudara di Sudan saat ini lebih dari 750 orang.
Bentrokan juga membuat ribuan orang terlantar.
Kedua pihak bertikai belum lama ini menandatangani perjanjian sambil terus bernegosiasi di Jeddah, Arab audi.
Baca juga: Update Perang Saudara di Sudan Hari ke-27: Hewan di Kebun Binatang Khartoum Dikhawatirkan Mati
"Kami menegaskan komitmen kami untuk memastikan perlindungan warga sipil setiap waktu, termasuk dengan mengizinkan perjalanan yang aman bagi warga sipil untuk meninggalkan daerah konflik sesuai pilihan mereka," papar deklarasi bersama, yang dikutip Guardian.
Perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak secara umum untuk membiarkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan setelah penjarahan dan serangan yang menargetkan bantuan di negara miskin itu.
Deklarasi tersebut menyerukan pemulihan listrik, air, dan layanan dasar lainnya, penarikan pasukan keamanan dari rumah sakit dan “penguburan dengan hormat” bagi orang mati.
Reaksi Amerika Serikat
Di satu sisi, para diplomat Amerika Serikat (AS) menyebut pembicaraan tersebut sebagai hal sulit.
Seorang pejabat AS yang terlibat dalam pembicaraan itu, berbicara dengan syarat anonim, mengatakan proposal di atas meja akan menetapkan gencatan senjata 10 hari.
Baca juga: Update Perang Saudara di Sudan Hari ke-26: Rumah, Toko, hingga Gudang jadi Sasaran Penjarahan
Pada gilirannya, akan mengarah pada negosiasi untuk mengakhiri pertempuran jangka panjang.
“Ini bukan gencatan senjata. Ini adalah penegasan kewajiban mereka di bawah hukum humaniter internasional, khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap warga sipil dan kebutuhan untuk menciptakan ruang bagi kemanusiaan untuk beroperasi,” kata pejabat itu.
Sementara itu, Program Pangan Dunia PBB mengatakan makanan bernilai jutaan dolar dijarah di Khartoum.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)