TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara Kementerian Kesehatan, Ashraf al-Qudra mengatakan 24 pasien di RS Al-Shifa meninggal dunia dalam 48 jam akibat pemadaman listrik.
Pemadaman listrik tersebut menyebabkan peralatan medis di RS Al-Shifa berhenti berfungsi.
“Dua puluh empat pasien di berbagai departemen telah meninggal dalam 48 jam terakhir karena peralatan medis penting berhenti berfungsi karena pemadaman listrik,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan Ashraf al-Qudra pada hari Jumat, dikutip dari Al Jazeera.
Sejak Rabu, RS Al-Shifa telah menjadi fokus serangan darat Israel.
Para militer Israel (IDF) terus menyisir RS Al-Shifa di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional mengenai nasib ratusan pasien dan ribuan warga sipil yang mencari perlindungan di sana.
Israel menuduh pejuang Hamas menggunakan kompleks terowongan di bawah rumah sakit untuk melancarkan serangan.
Baca juga: Respons Serangan Israel ke Gaza, MER-C dan IDI Nyatakan 5 Sikap
Namun klaim tersebut telah dibantah oleh Hamas dan direktur RS.
Setelah melakukan penyerangan di RS Al-Shifa, IDF mengklaim telah menemukan sebuah kendaraan dengan sejumlah besar senjata, dan sebuah bangunan bawah tanah yang disebut terowongan Hamas.
Serangan IDF di RS Al-Shifa telah menghancurkan layanan medis di rumah sakit tersebut.
PBB memperkirakan 2.300 pasien, staf, dan warga sipil Palestina terdapat di dalam RS.
Dua hari setelah serangan Israel, staf Al-Shifa mengatakan seorang bayi prematur meninggal di rumah sakit.
Sementara pada hari-hari sebelumnya, 3 orang meninggal saat IDF mengepung RS Al-Shifa.
Direktur RS Al-Shifa, Muhammad Abu Salmiya mengatakan kompleks medis saat ini telah menjadi 'penjara besar' dan 'kuburan massal' bagi semua orang di dalamnya.
Baca juga: Israel Serbu Rumah Sakit Al-Shifa, Pemimpin Hamas Ngeloyor Setop Negosiasi Pertukaran Tawanan
Pemadaman listrik dan habisnya pasokan makanan serta minuman juga menjadi salah satu penyebabnya.
“Kami tidak punya apa-apa, tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air. Setiap menit berlalu, kita kehilangan nyawa. Semalam, kami kehilangan 22 orang, dan selama tiga hari terakhir, rumah sakit dikepung,” kata Salmiya.
Bahan Bakar yang Semakin Menipis
Sejak 7 Oktober, Israel melakukan blokade ketat dan melancarkan serangan di Gaza.
Pihak berwenang Palestina di Gaza mengatakan serangan Israel telah menewaskan lebih dari 12.000 orang, termasuk 5.000 anak-anak.
Saat ini, telah memasuki minggu ketujuh pengepungan Isral.
Persediaan bahan bakar, makanan dan air mulai menipis.
PBB kemudian mengumumkan peringatan pasokan bahan bakar, air dan makanan yang menipis menyebabkan kelaparan bagi warga Gaza.
Menyusul peringatan tersebut, Israel menyatakan telah menyetujui permintaan AS untuk mengizinkan dua truk bahan bakar setiap hari memasuki Gaza.
“Kami mengambil keputusan itu untuk mencegah penyebaran epidemi. Kita tidak memerlukan epidemi yang akan merugikan warga sipil atau pejuang kita. Jika ada epidemi, pertempuran akan berhenti,” kata penasihat keamanan nasional Tzachi Hanegbi, dikutip dari Al Arabiya.
Seorang pejabat senior AS mengatakan Washington telah memberikan tekanan besar terhadap Israel selama berminggu-minggu untuk mengizinkan bahan bakar masuk melalui penyeberangan Rafah dari Mesir.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menjelaskan bahwa Israel perlu segera bertindak untuk menghindari bencana kemanusiaan.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, bahan bakar akan mulai dikirimkan pada hari Sabtu (18/11/2023), hari ini.
Bahan bakar yang dikirimkan hari ini adalah sebanyak 140.000 liter (37.000 galon) bahan bakar/
Nantinya, 20.000 liter akan digunakan untuk menggerakan generator komunikasi.
Pengiriman ini hanya akan diperbolehkan setiap 48 jam.
(Tribunnews.com/Farrah Putri)
Artikel Lain Terkait Konflik Palestina vs Israel