TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) kembali menerapkan standar ganda dengan mendakwa pemimpin Hamas, Yahya Sinwar.
AS mengumumkan tuntutan pidana pada Selasa (3/9/2024) terhadap Yahya Sinwar atas peran dalam merencanakan serangan pada 7 Oktober lalu.
Selain Yahya Sinwar, AS juga mendakwa enam petinggi Hamas lainnya, tiga di antaranya telah meninggal dunia.
Para terdakwa yang masih hidup, yakni Yahya Sinwar, Khaled Meshaal, dan Ali Baraka.
Sementara terdakwa yang sudah tewas, yaitu mantan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh; kepala sayap militer Mohammed Deif, yang menurut Israel tewas dalam serangan udara pada bulan Juli; dan Marwan Issa, wakil komandan militer yang menurut Israel tewas dalam serangan pada bulan Maret.
"Sebagaimana diuraikan dalam pengaduan kami, para terdakwa tersebut -- yang dipersenjatai dengan senjata, dukungan politik, dan pendanaan dari Pemerintah Iran, dan dukungan dari (Hizbullah) -- telah memimpin upaya Hamas untuk menghancurkan Negara Israel dan membunuh warga sipil untuk mendukung tujuan tersebut," kata Jaksa Agung AS, Merrick Garland dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters.
Jaksa AS mengajukan tuntutan terhadap keenam pria tersebut pada bulan Februari, tetapi merahasiakan pengaduan tersebut dengan harapan dapat menangkap Haniyeh, menurut seorang pejabat Departemen Kehakiman.
Departemen Kehakiman memutuskan untuk mempublikasikan tuduhan tersebut setelah kematian Haniyeh.
Timbulkan Pertanyaan soal Gencatan Senjata
Seorang peneliti terkemuka di Universitas Amerika, Beiru, Rami Khouri menyebut keputusan AS mendakwa para pemimpin Hamas merugikan perannya sebagai mediator gencatan senjata.
"Amerika Serikat telah mendukung Israel secara besar-besaran, antusias, dan penuh semangat dalam tindakannya saat ini di Gaza – dalam apa yang disebut PBB sebagai genosida yang masuk akal."
Baca juga: AS Mendakwa 6 Petinggi Hamas atas Serangan 7 Oktober, Termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar
"Dan telah lama menentang kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah, dengan menyebut mereka sebagai kelompok teroris," katanya kepada Al Jazeera.
Langkah untuk mendakwa kelompok Palestina tersebut juga menunjukkan AS sangat ingin meminta pertanggungjawaban Hamas atas tindakannya.
Tetapi, kata Khouri, tidak memiliki keinginan yang sama untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakannya.
"Oleh karena itu, di mata sebagian besar dunia, Amerika Serikat bukanlah perantara yang jujur, tetapi terlibat dalam genosida Israel di Gaza," ucapnya.
AS Terus Kebut Kesepakatan Sandera
AS saat ini sedang menggodok sebuah proposal untuk menjamin pembebasan seluruh 101 sandera yang tersisa di Gaza dan menghentikan pertempuran di daerah kantong itu.
Penasihat Komunikasi Keamanan Nasional AS, John Kirby mengatakan, langkah ini diambil karena skeptisisme tinggi bahwa kesepakatan dapat dicapai.
"Tim kami masih berupaya menyelesaikan masalah ini," kata Kirby, dikutip dari The Jerusalem Post.
Baca juga: Israel Mengaku Hancurkan Terowongan Besar Hamas di Gaza Utara, Ada Rel di Dalamnya
"Presiden AS Joe Biden akan tetap fokus 110 persen untuk melihat apakah kita bisa menyelesaikan masalah ini dan melakukannya secepat mungkin," tegas Kirby.
Proposal ini, lanjut Kirby, akan “mencakup bantuan besar-besaran dan segera bagi warga Gaza, dan juga menghasilkan penghentian pertempuran”.
Kirby mengatakan dia telah mendengar laporan tentang "kesepakatan semua atau tidak sama sekali".
"Tetapi yang ingin saya katakan adalah tim kami masih berupaya untuk menyelesaikan ini, untuk mencoba menyelesaikan kesepakatan yang mencapai ketiga hal tersebut," ungkapnya.
Qatar dan Mesir telah menjadi mediator utama untuk kesepakatan tersebut dengan bantuan AS.
Baca juga: Palestina Kecam Peta Israel Tanpa Tepi Barat: Netanyahu Niat Caplok Wilayah Kami
Kirby mengatakan bahwa AS terus berkomunikasi dengan Qatar dan Mesir.
Kedua negara Arab tersebut telah berhubungan dengan Hamas, katanya, seraya menambahkan bahwa ia tidak memiliki batas waktu kapan pekerjaan itu akan selesai.
(Tribunnews.com/Whiesa)