Pertemuan ini juga terjadi tepat setelah kepala IAEA Rafael Grossi kembali dari perjalanan ke Teheran, di mana ia tampaknya telah membuat kemajuan.
Selama kunjungan tersebut, Iran menyetujui permintaan IAEA untuk membatasi stok uranium tingkat senjata yang sensitif yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen, dikutip dari The New Arab.
Menanggapi resolusi tersebut, Iran mengumumkan peluncuran 'serangkaian sentrifus baru dan canggih' sehari setelahnya.
Sentrifus memperkaya uranium yang diubah menjadi gas dengan memutarnya pada kecepatan yang sangat tinggi, meningkatkan proporsi bahan isotop fisil (U-235).
Juru bicara organisasi energi atom Iran, Behrouz Kamalvandi mengatakan bahwa Iran akan sebisa mungkin meningkatkan kapasitas dengan menggunakan mesin-mesin yang canggih.
"Kami akan meningkatkan kapasitas pengayaan secara substansial dengan pemanfaatan berbagai jenis mesin canggih," kata Behrouz Kamalvandi.
Meski begitu, Iran berjanji akan tetap melanjutkan kerja sama teknis dan pengamanan dengan IAEA.
"Kami tetap berkomitmen untuk mengambil setiap langkah diplomatik guna mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, termasuk melalui tindakan cepat jika diperlukan," kata Kementerian Luar Negeri Inggris kepada kantor berita AFP.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan dengan kekuatan dunia, termasuk Amerika Serikat, untuk mengekang program nuklirnya karena kekhawatiran negara itu berpotensi mengembangkan senjata nuklir.
Akan tetapi pada tahun 2018, keadaan berubah.
Di mana Presiden AS Donald Trump saat menjabat sebagai presiden AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
Trump justru menjatuhkan sanksi terhadap Iran.
Tindakan ini memicu ketegangan antara Washington dan Teheran.
Sejak saat itu, Teheran telah mengurangi kerja samanya dengan IAEA, menonaktifkan perangkat pengawasan yang dipasang oleh PBB.
(Tribunnews.com/Farrah Putri)
Artikel Lain Terkait Iran dan Nuklir