Tidak ada warga Palestina yang secara terbuka mengajukan diri untuk peran tersebut.
Hamas pun mengancam siapa pun yang bekerja sama dengan militer Israel.
Amerika Serikat telah menyerukan agar Otoritas Palestina yang direvitalisasi memerintah Tepi Barat dan Gaza sebelum pembentukan negara.
Di sisi lain, pemerintah Israel, yang menentang pembentukan negara Palestina, dilaporkan sedang membahas rencana pascaperang dengan Uni Emirat Arab.
UEA menormalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 2020.
Pejabat Hamas mengatakan kesepakatan ini akan memenuhi salah satu tujuan perang Israel, yaitu mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza. Namun, belum jelas apakah pejabat Israel akan melihatnya demikian.
Kecaman
Jibril Rajoub, sekretaris jenderal komite pusat Fatah, mengecam kesepakatan tersebut.
Ia mengatakan bahwa pengaturan ini akan memperkokoh pemisahan antara Tepi Barat dan Gaza dengan menerima dua pemerintahan.
Ia menambahkan bahwa Hamas seharusnya membiarkan Otoritas Palestina mengambil alih kembali pemerintahan wilayah tersebut.
"Kami mewakili persatuan tanah dan pemerintahan," katanya kepada wartawan di kota al-Bira, Tepi Barat.
Otoritas Palestina, yang mengelola sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki, mengakui Israel dan bekerja sama dengannya dalam masalah keamanan.
Baca juga: Kesimpulan Investigasi Israel Soal Serangan Banjir Al-Aqsa Hamas: IDF Cueki Dokumen Jericho Wall
Kebijakan itu sangat tidak populer di kalangan warga Palestina, banyak di antaranya memandangnya sebagai subkontraktor pendudukan.
Israel mengatakan Otoritas Palestina belum berbuat cukup banyak untuk memerangi militansi atau mengekang hasutan.
Mediator Amerika dan Arab telah menghabiskan waktu hampir setahun untuk mencoba menengahi perjanjian semacam itu, tetapi negosiasi tersebut berulang kali terhenti.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)