Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, harus ada setidaknya tiga psikiater per 100.000 populasi. Namun, India memiliki tenaga profesional kesehatan mental yang jauh lebih rendah, hanya 0,3 psikiater untuk setiap 100.000 orang. Hal ini menyebabkan tantangan besar dalam mengakses layanan tersebut.
Menurut data Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, dari 150 juta warga India yang membutuhkan layanan kesehatan mental pada tahun 2016, kurang dari 30 juta yang secara aktif mencari bantuan.
Biaya yang tinggi, stigma sosial, kurangnya kesadaran, dan krisis tenaga profesional yang berkualitas, membuat layanan kesehatan mental, hampir tidak dapat diakses oleh sebagian besar orang India.
Meskipun stigma terhadap "terapi kesehatan mental” ini telah menurun secara signifikan di kalangan komunitas terpelajar, krisis tenaga profesional yang berkualitas masih menjadi tantangan besar.
Bagi Muslim perkotaan yang mendapatkan akses ke pendidikan, hambatan ini bahkan menjadi jauh lebih besar. Banyak dari mereka harus mengatasi tekanan, karena terlebih dahulu diwajibkan untuk mencari bantuan dari kerangka pedoman agama. Bahkan, ketika mereka mencari layanan profesional sekuler, mereka sering kali kesulitan menemukan terapis yang memahami dan menghormati identitas sosial agama mereka.
"Konsep kesehatan mental ini tidak diakui secara terbuka di keluarga saya," kata Faizan (nama samaran), berusia 29 tahun, yang telah melakukan konseling sejak 2015. "Itu baru diakui ketika ada kasus ekstrem," katanya. "Jika tidak, pendekatannya adalah 'berpasrah kepada Tuhan.'"
Zeba (nama samaran), berusia 26 tahun dan merupakan seorang jurnalis berbasis di New Delhi, menghadapi tantangan yang berbeda. Dia kesulitan menemukan terapis yang bisa memahami keyakinan agamanya dan memberikan dukungan yang dibutuhkan sesuai dengan itu.
"Saya sedang mengalami masalah di mana agama saya ikut berperan," katanya. "Saya ingin seseorang yang bisa memahami hubungan saya dengan Tuhan dan membantu saya memahami apakah saya sedang dimanipulasi atas nama agama."
"Saya merasa sangat bersalah, di mana saya berada dalam hubungan pra-nikah dengan seorang pria, sesuatu yang dilarang dalam Islam," katanya. "Terapis itu tidak dapat memahami aspek agama dari masalah saya, jadi saya mulai mencari seorang terapis Muslim," tambahnya.
Apakah agama relevan dengan kesehatan mental?
Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli kesehatan mental semakin menjelajahi penggabungan sistem antara agama dan spiritual individu dalam layanan psikoterapi.
Pendekatan psikoterapi ini, yang disebut Terapi Perilaku Kognitif yang Terintegrasi dengan Agama, telah dikembangkan dalam lima agama mayoritas di dunia saat ini, yakni Kristen, Yudaisme, Islam, Buddha, dan Hindu.
Shaheena Parveen, seorang psikolog yang berbasis di Kashmir, dalam penelitiannya yang mengeksplorasi hubungan antara keagamaan dan kesehatan mental di kalangan pemuda Muslim, berpendapat, keagamaan memiliki peran positif di antara para responden permuda Muslim.
Pada tahun 2013, para ilmuwan kesehatan mental Muslim di Amerika Serikat (AS) juga mengembangkan Psikoterapi Tradisional Islam yang Terintegrasi, sebuah bentuk psikoterapi yang menggabungkan prinsip-prinsip Islam tradisional dengan psikologi modern, yang telah disetujui oleh Asosiasi Psikologi AS.
"Jiwa kita bersifat psikososial. Itu berarti terbentuk melalui keluarga, agama, latar belakang sosial dan sebagainya," kata Ayesha Hussain, seorang psikolog yang berbasis di New Delhi.