Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC) Yayan Hidayat menilai bahwa poros koalisi besar sebagaimana yang diwacanakan sulit untuk terbentuk dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang.
Menurutnya, ada berbagai kondisi membuat poros besar itu sulit dibentuk.
“Poros koalisi besar akan sulit mencapai kesepakatan politik terutama untuk urusan penentuan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang bakal diusung. Ada ego elektoral dalam rencana pembentukan poros koalisi besar tersebut," kata Yayan dalam pesan yang diterima, Selasa (25/4/2023).
Dia mengatakan, ada banyak nama capres dan cawapres potensial dalam koalisi tersebut.
Ditambah lagi, partai besar yang selalu bertengger di posisi atas dalam berbagai hasil survei juga tergabung dalam rencana pembentukan poros koalisi besar, tentunya memiliki ego elektoral masing-masing.
Dia mencontohkan Partai Gerindra yang masih tetap pada keputusannya soal tetap mengumumkan Prabowo Subianto sebagai capres mereka.
Sementara PDIP yang telah secara resmi mengusung Ganjar Pranowo, dikatakan Yayan, juga semakin ngotot untuk tidak membuka ruang negosiasi sebagai cawapres dalam gelaran Pilpres 2024.
“Gerindra dan PDIP akan merasa paling berhak untuk mendapatkan jatah sebagai capres. Sebab mereka menganggap kadernya yang paling pantas sebagai Capres dengan latar belakang modal elektoral masing-masing," tambah Yayan.
Yayan mengatakan jika diperiksa tren hasil survei capres Pemilu 2024 dari tahun 2021 hingga 2023, terlihat ada gap elektoral dari 3 (tiga) nama bakal calon presiden, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
"Mereka selalu bersaing tipis di persentase gap 0,5 persen hingga paling jauh 2 persen. Fluktuasi gap elektoral tersebut dipengaruhi oleh berbagai persepsi dan keputusan politik yang dibuat oleh 3 (tiga) nama Bacapres tersebut," kata Yayan.
Dia mengatakan fluktuasi elektoral dipengaruhi dengan keputusan dan isu politik. Misalnya, Ganjar disebut sudah kehilangan hampir 2 persen suara akibat keputusan politiknya terkait Piala Dunia U20 lalu.
"Dalam kasus pembentukan poros koalisi besar, bila Prabowo menurunkan egonya sebagai cawapres tentu hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap modal elektoral Prabowo. Bagi saya, Prabowo akan banyak kehilangan suaranya yang saat ini justru cenderung menguat," kata Yayan.
Baca juga: Prabowo Subianto Digadang Bakal Jadi Cawapres Ganjar Pranowo jika PDIP Bergabung Koalisi Besar
Yayan menambahkan dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang, hanya akan ada (tiga) poros koalisi yang akan berkontestasi, yakni poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari PDIP, Golkar, PPP, dan PAN serta partai non-parlemen yakni PSI dan HANURA dengan mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres.
Poros kedua adalah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Gerindra dan PKB dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
Poris terakhir adalah Koalisi Perubahan yang diisi Partai Nasdem, Demokrat dan PKS dengan Anies Baswedan sebagai capres mereka.
Namun, dia menilai terdapat pergerakan politik yang dapat memengaruhi utak atik poros koalisi tersebut, seperti sinyal bergabungnya Sandiaga Salahuddin Uno ke PPP setelah resmi keluar dari Gerindra.
“Fenomena keluarnya Sandiaga Uno dari Gerindra menandai dua hal; Pertama, bergabungnya Sandiaga ke PPP akan membuka ruang lebar bagi Sandiaga untuk melenggang maju sebagai Bakal Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo," kata Yayan.
"Kedua, bergabungnya Sandiaga ke PPP adalah upaya Sandiaga untuk mendekatkan PPP ke Gerindra dan Sandiaga mendapat tiket politik sebagai Cawapres Prabowo Subianto.Bagi saya, dua hal ini bisa saja melatarbelakangi keputusan politik Sandiaga," tambahnya.
Keputusan Sandiaga tersebut, dikatakan Yayan, akan memengaruhi konstelasi politik pembentukan koalisi.
Baca juga: Koalisi Besar Berencana Kumpul Lagi Setelah Lebaran
Apalagi, dikatakan Yayan, jika kondisi yang sama juga akan terjadi dengan PKB bila Muhaimin Iskandar tidak punya peluang untuk diusung menjadi calon wakil presiden.
“PKB juga berpeluang keluar dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya jika Cak Imin tidak menjadi sebagai cawapres. Tentunya PKB akan mendorong pembentukan poros koalisi Nasionalis-Religius dengan bergabung ke PDIP karena kecewa pada Prabowo dan Gerindra," tandas Yayan.