Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap, sedikitnya ada 17 kelompok masyarakat yang rentan mengalami pelanggaran pemilu atau hak konstitusionalnya pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.
Hal tersebut dihasilkan setelah Komnas HAM melakukan pemantauan Pra Pemilu ke beberapa Provinsi di Indonesia. Ttemuan itu dilakukan pada periode April hingga Mei 2023.
"Tim Pengamatan situasi pemenuhan hak konstitusional warga negara pada pemilu dan pilkada serentak 2024 telah menetapkan 17 kelompok rentan yang akan menjadi fokus pemantauan," kata Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi saat menyampaikan hasil temuannya di Kawasan Jakarta Pusat, Jumat (12/5/2023).
Adapun keseluruhan kelompok rentan itu di antaranya yakni di antaranya:
1. Kelompok Disabilitas dan Orang Dengan Disabilitas Mental (ODDM)
2. Tahanan
3. Narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan/WBP)
4. Pekerja Perkebunan dan Pertambangan
5. Pekerja Migran
6. Pekerja Rumah Tangga (PRT)
7. Masyarakat Perbatasan
8. Masyarakat Adat/Suku Terasing
9. Kelompok Minoritas Agama/Etnis
10. Kelompok Lanjut Usia
11. Kelompok LGBTQ/SOGIE
12. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
13. Pengungsi Konflik Sosial/Bencana Alam
14. Tunawisma
15. Perempuan
16. Pasien RS dan Tenaga Kesehatan
17. Pemilih Pemula
Kebanyakan kata Pramono, kelompok rentan ini bermasalah pada kepemilikan identitas yang menyebabkan mereka mendapati keterbatasan dalam memilih.
Termasuk salah satunya yakni para tahanan serta para kelompok LGBTQ.
"Pihak kepolisian pada umumnya tidak melakukan perekaman identitas kependudukan kepada para tahanan sebelum proses hukum mereka selesai sehingga sulit bagi tahanan untuk bisa menggunakan hak pilihnya," kata dia.
Sementara untuk kelompok LGBTQ kata Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian, disebut menjadi kelompok rentan karena mereka juga memiliki problem pada identitas.
Dimana yang dimaksud oleh Saurlin yakni perihal rasa nyaman dari orang yang dimaksud, terkait dengan jenis kelamin yang terdaftar di KTP dengan kepribadian.
Baca juga: Kerap Terpaku Aturan, Pengamat Minta Bawaslu Lebih Kreatif Hadapi Dugaan Pelanggaran Pemilu 2024
"Soal identitas, nama misalnya. Kalau di KTP nama laki-laki, tapi identitas (samarannya) perempuan. Dan mereka lebih nyaman dengan nama perempuan, mana yang harus dipakai untuk memanggil ketika di TPS. Menurut mereka, nama yang harus dipanggil nama yang menurut mereka nyaman . Ini problema lain,"ucap Saurlin.
Tak cukup di situ, kelompok LGBTQ juga kata Pramono, kerap kali menjadi sasaran empuk para kandidat peserta pemilu dalam melakukan politisasi dalam gender.
Hal itu biasanya dilakukan dengan melakukan seruan penolakan terhadap kelompok tersebut atau merasa empati dengan kelompok yang dimaksud.
"Yang ini lebih berbahaya ketika musim Pemilu Pilkada, maka mereka rentan menjadi korban politisasi. Jadi ada misalnya caleg-caleg atau partai-partai yang misalnya mnyatakan 'Kami anti LGBT, kita akan memberantas LGBT' yang kaya gini gini gitu," tutur dia.
Atas kondisi tersebut, Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan juga penyelenggara pemilu termasuk KPU dan Bawaslu untuk menjamin tidak terjadinya potensi pelanggaran itu.
Rekomendasi itu juga turut disampaikan oleh Komnas HAM untuk para peserta pemilu.
"Memberikan ruang diskresi bagi KPU daerah dalam upayanya memenuhi hak-hak kelompok rentan; Melakukan sosialisasi secara intensif di panti-panti sosial, rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan kelompok-kelompok rentan yang lain," tukas dia.