Lebih penting lagi, agar tertanam kesadaran bahwa bonus demografi Indonesia menjadi negara terunggul tahun 2045 tidak disia-siakan.
"Kuncinya di Pemilu 2024, khususnya Pilpres nanti. Jangan sampai penerus Presiden Jokowi jatuh pada figur yang bukan 'the right man on the right place'. Indonesia jangan kembali jadi sapi perah negara-negara Asing," kata Cepi.
Kenapa Ganjar harus Capres dan Prabowo Cawapres?
Cepi mengatakan, karena pertimbangan realita faktual politik terkini dan administrasi politik.
Dari sisi elektoral berbagai survei, Ganjar yang kerap unggul dari Prabowo menduduki posisi saling bersaing ketat.
"Survei terbaru dari Indo Riset pada 11-18 September 2023 menyebut Ganjar Pranowo 34,4 persen, selisih tipis dengan Prabwowo Subianto 34,8 persen. Sedang Anies Baswedan hanya 25,5 persen," kata Cepi.
Selain itu, PDI Perjuangan juga merupakan parpol inkumben, sekaligus satu-satunya partai yang memiliki jumlah kursi di DPR RI 22,5 persen, sehingga memenuhi syarat minimal presidential threshold 20% untuk mengusung Capres dan Cawapres.
Sedang Gerindra hanya memiliki 12,57 persen, sehingga butuh dukungan parpol lain.
"Ganjar dan Prabowo diyakini banyak pihak memiliki kesamaan visi dengan Jokowi. Kalau Prabowo dipaksakan ikut kontestasi hingga masuh putaran dua head to head dengan Ganjar, sangat disayangkan gagal untuk kesekian kali di panggung Pilpres. Tentu, ini tidak dikehendaki Jokowi yang selama ini merangkul Prabowo mendukung kabinet Indonesia Maju Jilid 2," kata Cepi.
Sebaliknya, menurut Cepi, jika peta keberuntungan Pilpres berpihak pada Anies lolos di putaran pertama, malkulasi Kombatan, peluang besar tidak lolos putaran pertama ada di Prabowo.
"Indikasi mengarah ke Prabowo gagal di putaran pertama sangat banyak. Dan, ini bukan hanya Jokowi yang tidak menghendaki, tapi juga Bu Ketum PDI Perjuangan Megawati yang pernah berpsangan dengan Prabowo saat Pilpres 2009," kata Cepi. (*)