TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan menggelar sidang pemeriksaan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang kedua, pada Jumat (3/11/2023) hari ini.
Pemeriksaan tersebut dilakukan terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
"(Sidang) sekali lagi dengan Pak Ketua (Anwar Usman), Pak Ketua kami undang lagi," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Baca juga: VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Keseriusan Politikus PDIP Masinton Pasaribu Gulirkan Hak Angket MK
Ia menjelaskan, Anwar diperiksa sebanyak dua kali karena menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik terbanyak daripada yang diterima hakim konstitusi lainnya.
Adapun dari total 21 laporan yang diajukan para pelapor ke MKMK, sebanyak sembilan laporan di antaranya dilayangkan untuk Anwar Usman.
Selain itu, Jimly mengungkapkan, pemeriksaan kedua terhadap Anwar juga dilakukan untuk mengklarifikasi laporan-laporan yang disampaikan para pelapor kepada MKMK saat sidang pemeriksaan pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim.
Pemeriksaan Anwar kedua kalinya ini, ungkap Jimly, akan digelar secara tertutup.
"Karena kan paling banyak (dilaporkan) Pak Ketua (Anwar). Jadi enggak cukup hanya satu kali. Jadi, kami harus beri dia kesempatan untuk klarifikasi karena rata-rata laporan itu ekstrem-ekstrem semua," ungkap mantan hakim konstitusi itu.
Baca juga: KPU Terbitkan Surat Dinas Tindak Lanjuti Putusan MK soal Capres-cawapres, Jimly: Itu Sudah Cukup
Selain Anwar, Jimly mengatakan, MKMK juga akan memeriksa panitera MK secara tertutup.
Lanjutnya, MKMK juga akan menggelar sidang pemeriksaan ahli yang dihadirkan pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim atas nama Zico Leonard.
Ia mengungkapkan, Ahli yang akan dihadirkan adalah mantan Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna.
Tak hanya itu, MKMK juga akan memeriksa dua pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, pada Jumat besok.
"Kami akan mendengarkan keterangan Pak Palguna, mantan hakim, mantan Ketua MKMK. Nah itu bagaimana proses pembentukan MKMK yang dipersoalkan," ucapnya.
Sebagai informasi, MKMK telah memeriksa sembilan hakim konstitusi, sejak 31 Oktober hingga Kamis kemarin.
Selain para hakim terlapor, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga telah memeriksa 19 pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi hingga hari ini.
Sebanyak total 21 pihak melaporkan Anwar Usman dkk atas dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut diduga berkaitan dengan upaya meloloskan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024 mendatang.
Saldi Isra dan Arief Hidayat Tidak Tahan Dengan Permasalahan di Internal Hakim MK
Hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat tidak tahan dengan permasalahan yang ada di internal para hakim Mahkamah Konsitusi (MK).
Maka dari itu keduanya mencurahkannya ke dalam dissenting opinion atau perbedaan pendapat saat putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres cawapres dibacakan.
Baca juga: Anwar Usman Diduga Bohong dan Sengaja Dibiarkan Ikut Putuskan soal Usia Capres-Cawapres
Hal ini diungkapkan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie usai sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, Kamis (2/10/2023).
"Baik Prof Arief maupun Prof Saldi kayaknya enggak kuat hadapi problem internal. Itu terekspresikan dalam pendapat hukumnya," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta, Kamis malam.
Dissenting opinion Saldi dan Arief dijadikan polemik sejumlah pelapor di tengah banyaknya laporan yang menyoroti dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman.
Dissenting itu dianggap pelapor tidak bersifat substantif terhadap perkara.
"Yang dipersoalkan adalah dissenting opinion kok isinya bukan dissenting? Isinya curhat. Nah ini kan sesuatu yang baru tentang bagaimana sebaiknya kita membangun tradisi dissenting opinion," tutur Jimly.
Sebelumnya, dalam sidang putusan Nomor 90 Saldi saat membacakan dissenting opinion mengaku merasa bingung. Sejak menjadi hakim konstitusi pada 2017 lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh dan luar biasa dalam proses pengambilan keputusan.
“Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar,” ujar Saldi di ruang sidang Gedung MK, Senin (16/10/2023).
Saldi juga heran melihat mahkamah yang pendiriannya berubah dalam seketika.
Sebelumnya dalam Putusan MK Nomor 29, 5, 55/PUU-XXI/2023 secara eksplisit, lugas, dan tegas MK menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya.
Baca juga: Temuan Baru MKMK: Hakim MK Lakukan Pembiaran Anwar Usman Ikut RPH Meski Punya Konflik Kepentingan
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ujar Saldi.
Namun dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 kali ini di hari yang sama, MK mengubah putusan terbaru atas tiga perkara sebelumnya.
"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," tutur Saldi.
"Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat" sambungnya.
Pertanyaannya, lanjut Saldi, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo.
Anwar Usman Diduga Bohong dan Sengaja Dibiarkan Ikut Putuskan soal Usia Capres-Cawapres
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, mengendus adanya dugaan kebohongan yang disampaikan Ketua MK Anwar Usman soal putusan usia capres-cawapres.
Pernyataan itu, disampaikan Jimly ke publik setelah melakukan pemeriksaan terhadap Anwar Usman dan lima orang hakim konstitusi lainnya.
Dijelaskan Jimly, Anwar Usman diduga berbohong soal ketidakhadirannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang digelar pada 19 September 2023.
"Tadi ada yang baru soal kebohongan (alasan ketidakhadirannya di RPH). Ini hal yang baru (disampaikan)," kata Jimly, Rabu (1/11/2023).
Jimly mengungkap, ada dua versi alasan Anwar Usman tak ikut serta dalam memutus tiga perkara gugatan soal batas usia capres-cawapres.
Baca juga: 2 Temuan MKMK Setelah Periksa 6 Hakim Konstitusi, Dugaan Kebohongan dan Pembiaran Anwar Usman
"Ada yang bilang karena (Anwar Usman) menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua (dia absen datang) karena sakit."
"Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar," ucap Jimly.
Seperti diketahui, kala itu RPH dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief Hidayat guna membahas putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 soal usia capres-cawapres itu.
Dijelaskan Arief Hidayat, Saldi Isra kala itu mengabarkan Anwar Usman tak hadir karena menghindari potensi konflik kepentingan.
"Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan."
"Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo," ujar Arief.
Tanpa Anwar Usman, RPH menghasilkan putusan tegas dan konsisten dengan sikap Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu berkaitan dengan syarat usia jabatan publik, yakni urusan itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah).
MK pun menolak ketiga gugatan itu, sehingga tak ada perubahan batas usia capres-cawapres, di mana keputusan ini menutup peluang Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam kontestasi politik Pilpres 2024.
Namun, dalam RPH berikutnya, dalam memutus perkara lain yang masih berkaitan syarat usia capres cawapres, Anwar Usman hadir.
Kepada hakim lainnya, Anwar Usman menyampaikan alasannya tidak hadir dalam RPH sebelumnya karena masalah kesehatan.
Alasan ini berbeda dengan apa yang disampaikan Saldi Isra sebelumnya.
Kedua alasan ini pun diduga mengandung kebohongan oleh Jimly.
Dengan kehadiran Anwar Usman dalam RPH kali ini, sikap MK mendadak berbalik 180 derajat.
MK menyampaikan, putusan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum 40 tahun, lewat Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.
Dengan demikian, Gibran pun bisa melenggang maju ke Pilpres 2024.
Baca juga: Dua Temuan Sidang MKMK: Reaksi Berbeda Para Hakim soal Anwar Usman hingga Dokumen Tak Ditandatangani
Dugaan Pembiaran
Selain dugaan kebohongan, Jimly juga menilai ada pembiaran yang dilakukan hakim konstitusi terhadap Anwar Usman yang hadir dalam RPH lanjutan itu.
Padahal dalam memutus perkara putusan 90/PUU-XXI/2023, Anwar Usman dianggap memiliki konflik kepentingan.
"Ada pelapor yang lain yang mempersoalkannya, nah ini agak berbeda juga, (yakni soal) pembiaran."
"Jadi 9 hakim atau 8 hakim kok membiarkan, enggak mengingatkan (Anwar Usman untuk tak hadir)? Padahal ini kan ada konflik kepentingan," ucap Jimly, Rabu (1/11/2023).
Dalam laporan ini, sembilan hakim konstitusi dilaporkan semua karena melakukan pembiaran terhadap Anwar Usman.
"Kok ada sidang (RPH) dihadiri ketua yang punya hubungan kekeluargaan, kan itu kan semua orang tau bahwa ada hubungan kekeluargaan. Kok dibiarin, enggak diingatkan."
"Sehinga sembilan (hakim) itu dituduh semua, melanggar semua karena membiarkan itu," sambung Jimly.
Terkait hal ini, adapun keputusan MKMK soal dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, akan diumumkan 7 November 2023, mendatang.
Jimly Asshiddiqie tidak ingin membiarkan masyarakat diliputi ketidakpastian.
Apalagi tahapan pemilu yang terus berjalan.
"Maka itu segera saja pembuktian ini dan lagipula ya ini masalah ini bisa melebar terus."
"Pemilu sudah dekat, jadi bangsa kita harus punya, dapat kepastian," ujar Jimly di Gedung II MKMK, Jakarta, Rabu (1/10/2023).
Baca juga: Mahasiswa Gugat Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Minta Anwar Usman Tak Ikut Campur
Menurut Jimly, persoalan ini adalah persoalan serius yang bisa membuat konflik bakal melebar luas jika dibiarkan berlarut-larut.
"Kalau engga, ini kan bisa melebar kemana-mana. Bisa konflik, nanti ujungnya PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden) di bawa ke sini lagi. Lalu orang tidak percaya, bagaimana? Jadi, ini soal serius ini," tegas Jimly.
Anwar Usman Bantah Lobi Hakim Lain
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengaku tidak melakukan lobi dalam langkahnya untuk melancarkan supaya putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 dikabulkan.
"Enggak ada lobi-lobi gimana. Sudah baca putusannya belum? Ya, sudah," ujar Anwar Usman usai menghadiri sidang dugaan pelanggaran kode etik di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Sebagai informasi, hari ini Anwar Usman sebagai terlapor menghadiri sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ihwal dugaan pelanggaran kode etik.
Saat ditanya soal apa saja yang ditanyakan MKMK dalam pemeriksaan, Anwar Usman tidak mengungkapkan secara jelas.
"Ya enggak ada, itu saja, ya masalah. Kalau bisa seperti siaran pers saya itu lho, baca beberapa putusan," ujarnya.
Hari ini, selain memeriksa terlapor, MKMK juga melakukan sidang pemeriksaan terhadap pelapor pada pagi hari tadi.
Dalam sidang sidang itu, Program Manager Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Violla Reninda selaku pelapor mengatakan Anwar Usman selain terlibat dalam mengambil putusan serta melakukan lobi untuk memuluskan tujuannya.
"Keterlibatan di sini dalam arti yang bersangkutan tidak mengundurkan diri untuk memeriksa dan memutus perkara dan juga terlibat aktif untuk melakukan lobi dan memuluskan lancarnya perkara ini agar dikabulkan oleh hakim yang lain," jelas Violla.