News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2024

Fenomena Politik Dinasti, Sistem Demokrasi di Indonesia Dinilai Sedang Tidak Baik

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSSTRASI Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Selamatkan Demokrasi menggelar mimbar demokrasi di halaman Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (6/12/2023). Mimbar bebas tersebut merupakan gerakan melawan Degradasi Demokrasiyang merusak moralitas bangsa yang terjadi saat ini seperti penggunaan kekuasaan dalam membangun politik dinasti. Mahasiswa juga menolak pelanggaran HAM yang hingga saat ini masih banyak kasus yang belum terselesaikan. TRIBUNNEWS/HO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem demokrasi di Indonesia saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja setelah maraknya perbincangan mengenai politik dinasti.

Dalam rangka mengulik dan mengkritisi fenomena politik dinasti di Indonesia, Merintis Indonesia berkolaborasi dengan BEM FISIP Undip mengadakan Talkshow yang bertemakan “Pemilu 2024: Negara Demokrasi di Lingkaran Politik Dinasti” di Ruang Teater, Gedung C, Kampus FISIP Undip.

Kegiatan tersebut dihadiri lebih dari 150 mahasiswa yang berasal dari Universitas Diponegoro dan perguruan tinggi lainnya di Kota Semarang.

Mahasiswa yang hadir cukup antusias dalam mengikuti forum diskusi yang membahas mengenai kondisi demokrasi negara ini yang sedang menuju fase kritis sebagaimana diungkapkan Dosen FISIP Undip, Aji Imawan.

“Melihat fenomena sosial politik saat ini, sistem pemilu dan demokrasi bangsa Indonesia mendapat ‘lampu kuning’ atau pertanda sedang tidak baik-baik saja," ujar Aji dikutip, Minggu (10/12/2023).

Di tempat yang sama, Ketua BEM FISIP UB, Satria Naufal juga menyoroti adanya politik dinasti di negara ini. 

“Fenomena politik dinasti perlu dilihat dari berbagai aspek (helicopter view), seperti penyebab, dampak, hingga aturan didalamnya,” tuturnya.

“Apabila dirasa politik dinasti hal yang tidak wajar maka jangan diwajarkan seperti yang terjadi saat ini. Harus ada kesetaraan akses bagi seluruh warga negara sehingga bukan hanya segelintir pihak yang memiliki privillege tertentu,” tambah Satria.

Ketua BEM FISIP Undip, Yazid Suhada menambahkan, pesatnya perkembangan media sosial yang dijadikan komoditas untuk menguntungkan sekaligus merugikan pihak tertentu.

“Maraknya isu-isu yang berkembang di media sosial merupakan produk buzzer yang suka pelintir sana sini. Disisi lain, narasi-narasi yang ada kerap mengunggulkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain sehingga mengikis rasionalitas pemilih,” tutur Yazid.

Disisi lain, fenomena sosial politik hari ini tidak terlepas dari adanya komodifikasi suara pemuda yang menjadi preseden buruk bagi kontestasi Pemilu 2024. 

Seyogyanya para kandidat tidak elok jika berbicara gagasan yang mengatasnamakan generasi muda, sebab belum tentu pemuda merasa terwakili atas gagasan dari para kandidat.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Ketua BEM Fisip UB, Satria Naufal dalam closing statementnya.

“Jangan sampai suara pemuda dihargai murah hanya untuk kepentingan politik. Pemuda harus skeptis dalam menjelajah gagasan seluruh kandidat sehingga tidak terjebak dalam belenggu komodifikasi pemuda,” tutur Satria.

Kronologi isu politik dinasti

Nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka akhirnya menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Hal ini menjadi polemik lantaran adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Baca juga: Penegakan Hukum dalam Dinasti Politik Jokowi di Tengah Pencalonan Gibran sebagai Cawapres

MK lewat putusannya seakan memberi karpet merah kepada Gibran yang tadinya belum cukup umur untuk dijadikan sebagai cawapres.

Seperti diberitakan, pada 16 Oktober 2923 MK "mengizinkan: kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun.

Putusan itu menuai pro dan kontra, bahkan tak sepi dari kritik karena dinilai lembaga ini melampaui kewenangannya.

Sejumlah pihak menyebutkan, putusan MK ini semestinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.

Selain dinilai melampaui kewenangannya, MK juga dianggap tidak konsisten dengan putusannya tersebut.

Putusan MK yang dinilai banyak kalangan lahir dari kepentingan politik, bukan semata-mata pertimbangan hukum.

Publik juga menilai putusan MK ini juga tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa upaya uji materi tersebut memang diperuntukkan guna memberi jalan politik bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk berlaga di pemilihan presiden.

Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu, yang juga merupakan Paman Gibran akhirnya dicopot lewat keputusan MKMK.

"Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membacakan putusannya.

"Sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," sambungnya.

Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2023).

Sidang itu dipimpin oleh majelis yang terdiri atas Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini