TRIBUNNEWS.COM - Narasi orang dalam alias ordal disebut-sebut pada Debat Capres, Selasa (12/12/2023) lalu.
Hal ini menjari sorotan pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan.
Ia menilai keberadaan ‘orang dalam’ dalam sistem politik dan kehidupan bernegara ibarat benalu.
Jelasnya, ordal akan mematikan meritokrasi dengan tidak memberikan kesamaan dan kesetaraan.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Pemilih Bimbang di Pilpres 2024, Paling Banyak di Jawa Tengah
“Orang dalam itu benalu yang bisa membunuh meritokrasi. Meritokrasi tidak mengenal orang dalam atau orang luar," jelasnya pada Kamis (14/12/2023).
"Ia tegak lurus dengan menempatkan kapasitas, kualitas, kapabilitas, dan integritas sebagai standar baku untuk terbangunnya sistem dalam beragam ranahnya, terlebih dalam sistem demokrasi,” terangnya.
“Meritokrasi tegak apabila demokrasi betul-betul menempatkan equality sebagai pijakannya."
Lanjuthya, orang dalam menyebabkan equality mati.
Selain itu, salah satu dampak buruk dari kuatnya orang dalam dalam sistem politik adalah maraknya kasus korupsi.
“Karena orang dalam itu bentuk deviasi dari sistem yang seharusnya, sebagaimana korupsi bentuk penyimpangan dari mekanisme yang seharusnya. Mereka adalah sisi gelap birokrasi,” tegasnya.
Senada, peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menilai nepotisme dan keberadaan ‘orang dalam’ akan mengganggu demokrasi.
“Tentu dalam demokrasi semua memiliki kesempatan yang setara. Ini tentu harus jadi nilai yang dipegang tiap pejabat publik sebagai "forbearance" atau penahan nafsu dalam menjaga demokrasi. Termasuk juga nepotisme dan fenomena ordal,” terang Kahfi.
Menurutnya, kendati tidak ada peraturan rigid soal orang dalam, nilai demokrasi harus tetap dipegang teguh, terutama memegang semangat meritokrasi.
Keberadaan ordal juga menjadi rintangan dalam upaya pemberantasan korupsi.