Mereka juga meminta MK memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut tanpa campur tangan Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Sedangkan dalam petitumnya, Denny dan Zainal meminta MK mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
"Menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum Pemohon dalam Surat Perbaikan Permohonan, dikutip dari laman MKRI, pada Senin (15/1/2024).
Tak hanya itu, Denny dan Zainal meminta MK memerintahkan kepada penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2024 untuk mencoret peserta pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 109 ) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PU-XXI/2023, akibat telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Atau menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan Pemilu 2024," kata Para Pemohon.
Diberitakan sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada kuasa hukum Pemohon permohonan uji formil syarat batas usia capres-cawapres yang telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023.
Arief mulanya mengaku berterima kasih kepada Para Pemohon dan kuasa hukumnya karena permohonan yang diajukan mereka mengajak bersama-sama untuk berpikir menggunakan paradigma hukum progresif, bukan normatif.
"Karena kita kalau menggunakan pendekatan normatif formalistik saya kira Para Pemohon principal dan para kuasa hukumnya tahu persis perkara ini muaranya akan di mana. Ya kan," kata Arief Hidayat, dalam sidang pendahuluan di gedung MK, pada Selasa (28/11/2023).
"Oleh karena itu, saya meminta supaya kita bersama-sama bisa menggunakan pendekatan yang lain supaya kita bisa keluar dari kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, yang menimpa MK, yang menimpa putusan MK, dan menimpa proses bernegara hukum secara demokratis di Indonesia," sambungnya.
Hal itu disampaikan Arief, karena menurutnya, permohonan uji formil yang diajukan Denny dan Zainal ini merupakan sesuatu yang beda, karena menguji formil terhadap Putusan MK.
"Ini pengujian formil, pengujian formil itu terhadap UU yang dibentuk oleh badan legislatif. Tapi ini menguji formil terhadap putusan Mahkamah. Itu kan sangat lain," jelasnya.
Meski demikian, Arief mengatakan, permohonan yang diajukan ini masih banyak kelemahannya. Majelis Panel memberikan batas waktu perbaikan permohonan hingga 6 Desember 2023 mendatang.
Lebih lanjut, Arief kemudian menjelaskan soal pendekatan hukum progresif. Ia menyampaikan pendapat dari ahli hukum Satjipto Rahardjo, bahwa hukum tidak semata-mata untuk hukum itu sendiri, manusia bukan untuk hukum tapi hukum untuk manusia.
"Supaya bagaimana perikehidupan yang demokratis, perikehidupan negara hukum itu bisa mencapai keadilan yang sangat substantif," katanya.