Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) ikut mengkritik Jokowi.
Mereka menilai pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.
Perwakilan CALS sekaligus Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyebut keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pihaknya pun menegaskan bahwa seorang presiden tidak boleh ikut berkampaye.
"Perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye'. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye," ungkap Bivitri, Rabu.
Selain itu, koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, mendesak Jokowi mencabut pernyataan tentang presiden boleh berpihak dan berkampanye.
Dimas menganggap pernyataan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Hingga dikhawatirkan berimplikasi pada rangkaian praktik kecurangan di lapangan saat Pemilu 2024 berlangsung.
Oleh karena itu, ia juga meminta Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan pengawasan terkait hal ini.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Fersianus Waku/Muhammad Zulfikar/Rifqah/Hasanudin Aco/Ibriza Fasti Ifhami/Theresia Felisiani)