Lebih lanjut, Ari menyatakan apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukanlah hal baru. Aturan terkait sikap presiden dalam pemilu telah diatur dalam UU Pemilu.
Dia memaparkan, dalam sejarah pemilu setelah Reformasi, presiden-presiden sebelumnya juga memiliki referensi politik, bahkan mereka ikut berkampanye.
"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.
Penjelasan Pakar
Namun, menurut Sekretaris Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, S.HI., LL.M, aturan presiden boleh berkampanye di UU nomor 7 tahun 2017 tak bisa ditafsirkan secara tunggal.
“Salah tafsir itu. Hak politik setiap warga negara harus dimaknai sepanjang tidak menimbulkan conflict of interest atau benturan kepentingan,” ujarnya, Kamis, dilansir TribunJogja.com.
Gugun memaparkan, apabila Aparatur Sipil Negara (ASN) saja harus netral, bagaimana mungkin pejabat di kekuasaan eksekutif ini malah tidak netral.
“ASN harus netral, masa iya, pejabat tertinggi di Indonesia, simbol supremasi kekuasaan eksekutif, head of state malah tidak menjunjung asas netralitas?" ungkapnya.
Lebih lanjut, pria yang menjabat sebagai Direktur Lex Humana Institute itu mengungkapkan bahwa presiden adalah ASN dengan eselon tertinggi.
Dengan begitu, secara logika, presiden adalah pembina ASN. Oleh sebab itu, dia tidak boleh berpihak.
“Argumentasi dari siapapun yang menafsirkan norma dalam UU Pemilu membuka peluang presiden boleh memihak, berarti sengaja menafsirkan hukum parsial, tidak holistik. Ada kesengajaan memisahkan hukum dengan spirit demokrasi,” ungkapnya.
Aturan tersebut menegaskan bahwa kepala desa atau lurah di tingkat desa tak boleh memihak salah satu paslon.
Berdasarkan hal itu, maka bupati hingga presiden harus dipastikan tak berpihak pada salah satu paslon maupun mengkampanyekan kubu mana pun.
“Ya kalau memaknai hak politik dengan menabrak asas netralitas pejabat negara, bisa rusak demokrasi ini karena ada potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan,” ucapnya.
Apabila situasi semacam itu dibiarkan, sambung Gugun, doktrin pemilu yang berintegritas pasti sulit diwujudkan.