News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak dan Berkampanye, Begini Penjelasan Istana dan Pakar Hukum

Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dan Kepala Staf TNI AL (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali menggelar konferensi pers usai kegiatan serah terima alutsista pesawat dari Pemerintah untuk TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Menhan menyerahkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebanyak lima unit pesawat C-130 J-30 Super Hercules dan delapan unit helikopter H225M untuk TNI AU, dan empat helikopter A5 550 Fennec untuk TNI AD, dan delapan unit helikopter Panther AS565 MBE untuk TNI AL. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan maksud pernyataan Jokowi terkait presiden boleh memihak dalam pemilu.

Lebih lanjut, Ari menyatakan apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukanlah hal baru. Aturan terkait sikap presiden dalam pemilu telah diatur dalam UU Pemilu.

Dia memaparkan, dalam sejarah pemilu setelah Reformasi, presiden-presiden sebelumnya juga memiliki referensi politik, bahkan mereka ikut berkampanye.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.

Penjelasan Pakar

Namun, menurut Sekretaris Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, S.HI., LL.M, aturan presiden boleh berkampanye di UU nomor 7 tahun 2017 tak bisa ditafsirkan secara tunggal.

“Salah tafsir itu. Hak politik setiap warga negara harus dimaknai sepanjang tidak menimbulkan conflict of interest atau benturan kepentingan,” ujarnya, Kamis, dilansir TribunJogja.com.

Gugun memaparkan, apabila Aparatur Sipil Negara (ASN) saja harus netral, bagaimana mungkin pejabat di kekuasaan eksekutif ini malah tidak netral.

“ASN harus netral, masa iya, pejabat tertinggi di Indonesia, simbol supremasi kekuasaan eksekutif, head of state malah tidak menjunjung asas netralitas?" ungkapnya.

Lebih lanjut, pria yang menjabat sebagai Direktur Lex Humana Institute itu mengungkapkan bahwa presiden adalah ASN dengan eselon tertinggi.

Dengan begitu, secara logika, presiden adalah pembina ASN. Oleh sebab itu, dia tidak boleh berpihak.

“Argumentasi dari siapapun yang menafsirkan norma dalam UU Pemilu membuka peluang presiden boleh memihak, berarti sengaja menafsirkan hukum parsial, tidak holistik. Ada kesengajaan memisahkan hukum dengan spirit demokrasi,” ungkapnya.

Aturan tersebut menegaskan bahwa kepala desa atau lurah di tingkat desa tak boleh memihak salah satu paslon.

Berdasarkan hal itu, maka bupati hingga presiden harus dipastikan tak berpihak pada salah satu paslon maupun mengkampanyekan kubu mana pun.

“Ya kalau memaknai hak politik dengan menabrak asas netralitas pejabat negara, bisa rusak demokrasi ini karena ada potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan,” ucapnya.

Apabila situasi semacam itu dibiarkan, sambung Gugun, doktrin pemilu yang berintegritas pasti sulit diwujudkan.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini