Sementara saat ini, Jokowi bukanlah peserta Pemilu, melainkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang dipilih menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Karena itu, menurut Bivitri, Jokowi tidak seharusnya menyatakan pernyataan tersebut karena bisa meguntungkan Prabowo dan Gibran.
Bivitri lantas menilai Jokowi telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan karena telah melanggar undang-undang.
"Sebenarnya kan diatur secaa jelas di Pasal 282 dan 283 bahwa pejabat negara itu tidak boleh melakukan tindakan dan lain sebagainya yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta selama kampanye. Jadi sudah melanggar belum? Sudah. Apakah itu kemudian bisa kita dorong sampai pemakzulan? Menurut saya sih bisa," paparnya.
Pernyataan senada turut disampaikan Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis.
Ia menyebut satu di antara penyebab presiden boleh dimakzulkan karena melakukan perbuatan tercela.
"Saya tidak mengatakan harus melakukan pemakzulan, tapi ini yang saya baca dalam pasal 9 ini, dan kalau dikaitkan dengan pasal pemakzulan baik itu dalam UU MK kita ketahui selama ini, kalau kita ini ingin menyimpulkan itu sebagai perbuatan tercela, ya maka ini bisa diidentikkan sebagai alasan seperti yang saya katakan tadi. Ini ditulis pasal 7A UUD 1945," papar Todug, ditemui dalam konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2024).
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Sebut Pernyataan Jokowi Soal Presiden Boleh Memihak Sebagai Bentuk Pengingkaran
Isi Pernyataan Jokowi
Sebelumnya, Jokowi menuai kritik setelah menyebut presiden boleh berkampanye dan memihak selama Pemilu.
Pernyataan itu bahkan disampaikan Jokowi di hadapan Menteri Pertahanan sekaligus capres nomor urut 02, Prabowo Subianto.
"Yang paling penting, Presiden itu boleh lho kampanye, Presiden boleh lho memihak," katanya usai penyerahan sejumlah alutsista di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Yang paling penting menurut Jokowi adalah kampanye tidak memanfaatkan fasilitas negara.
"Tapi yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh."
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gitu nggak boleh. Menteri juga boleh (berkampanye)," ujarnya.
(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Ibriza Fasti Ifhami/Ashri Fadilla)