Sementara dua pantun lainnya berisi pernyataan Butet tentang penilaiannya pada sosok Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud).
Baca juga: Dianggap Sebar Hoaks Soal Intimidasi, Jaringan Nasional Kopi Gama Dukung Butet Hadapi Laporan Polisi
Pada pantun keempat, Butet secara spesifik membandingkan sikap Jokowi sebagai presiden yang berpihak kepada konglomerat, sedangkan Ganjar sebagai pemimpin yang memihak pada rakyat.
Sementara itu, pada puisi terakhirnya, Butet mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung Ganjar-Mahfud lewat Revolusi Cinta.
Ganjar: pilih sekolah gratis atau makan gratis?
Ganjar juga sempat bertanya kepada Lilik seorang wanita yang hadir dalam acara tersebut, apakah memilih sekolah gratis atau makan gratis?
"Ibu pilih sekolah gratis atau makan gratis?” Dijawab Lilik. “sekolah gratis pak,” kenapa pilih sekolah gratis? Tanya Ganjar lagi, dijawab Lilik “karena pendidikan menentukan masa depan anak pak,” tegasnya.
“Nah sekolah gratis itu adalah masa depan anak, itulah masa depan anak-anak bangsa,” kata Ganjar.
Maka sekolah gratis, lanjut Ganajr, betul menjadi cita-cita kita semua. Dia menceritakan bahwa dirinya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ketika sekolah, orangtua Ganjar mengutang dan bahkan Ganjar mengaku pernah terlibat rentenir untuk membayar kuliah.
Itulah kenapa pendidikan 12 tahun minimal harus gratis, kata Ganjar. Kalau sudah gratis, lanjut dia, maka dirinya berkeinginan pendidikan lah yang akan mengubah nasib keluarganya.
“Maka dari keluarga miskin, dan saya kepingin pendidikan lah yang mengubah nasib keluarganya, maka satu keluarga miskin, satu sarjana,” papar mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) ini.
Ganjar menambahkan, dengan satu keluarga miskin satu sarjana itulah yang diharapkan nantinya mereka menjadi anak-anak yang hebat untuk bisa membantu keluarganya, membantu orangtuanya, karena mereka (anak-anak) pasti punya budi pekerti yang luhur.
Dalam kesempatan itu, Ganjar menyinggung pelarangan pentas seni yang dilakukan seniman sekaligus budayawan Butet Kartaredjasa, karena dalam pentas-pentas panggungnya kerap mengeritik pemerintah.
“Akhirnya lokasi pentasnya dipindahkan ke Yogya, ternyata benar isinya mengkritik pemerintah semua. Itulah fungsi kritik, agar penguasa diingatkan, agar penguasa bisa mengasah rasa, sehingga menjadi peka dan tidak menjadi pekok (keras kepala),” sindir Ganjar.
Dengan seni, dengan budaya, dengan kepekaan yang kita miliki, lanjut dia, maka Insyaallah tidak akan menjadi pekok. (*)