TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) didesak mendiskualifikasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024.
Ini merupakan tuntutan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara merespons putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi keras kepada KPU atas putusannya menetapkan Gibran sebagai Cawapres.
Dalam putusannya, DKPP RI menyatakan bahwa KPU, mulai dari Ketua hingga anggota, telah melanggar etika penyelenggaraan pemilu, sebagaimana diatur dalam peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.
Pelanggaran terjadi karena tidak melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan serta keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, serta tidak menjamin adanya kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta pemilu.
Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus menegaskan, pihaknya juga memerintahkan Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengajukan calon pengganti Capres-Cawapres atau Pilpres 2024 tanpa Prabowo dan Gibran karena berbagai pelanggaran etik, hukum dan konstitusi termasuk merujuk kepada Putusan No.99/PUU-XXI/2023, tgl. 16/10/2023 dan Putusan MKMK No. 2/MKMK/L/ ARLTP/10/2023, tgl 7/11/2023.
“Menunda penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2 x 14 hari terhitung sejak tanggal 14/2/2024, agar KIM mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pengganti, akibat diskualifikasi terhadap Capres Prabowo dan Cawapres Gibran,” ujar Petrus dikutip dari keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Lebih lanjut, pendiskualifikasian oleh KPU karena putusan DKPP menempatkan Gibran yang dalam memperoleh tiket Cawapres melalui perbuatan melanggar hukum dan melanggar etika, sehingga tidak layak, tidak pantas dan tidak sepatutnya menjadi Cawapres mendampingi Prabowo.
“Alasan hukumnya sangat kuat, karena keputusan KPU menetapkan Gibran sebagai Cawapres bertentangan dengan etika dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, yang menurut UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah karena melanggar asas-asas umum pemerintahan,” jelas Petrus.
Dia menegaskan, putusan DKPP ini harus dikawal pelaksanaannya agar bermanfaat bagi perbaikan prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, dan konstitusi yang dilanggar sejak nepotisme muncul kembali.
“Serta dengan memperhatikan opini publik yang berkembang terutama suara para civitas akademika lintas perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai representasi para intelektual, cendekiawan dan ilmuwan Indonesia yang netral,” lanjutnya.
Oleh karena itu putusan DKPP No.135-136-137 dan No. 141--PKE-DKPP/XII/ 2023, tanggal 5/2/2024 harus dikawal pelaksanannya oleh rakyat.
Baca juga: Mahfud Sebut Pencalonan Gibran Tetap Sah Meski DKPP Beri Sanksi Peringatan Keras ke Ketua KPU
Hingga Senin (5/2/2024) malam, setidaknya ada 47 civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi yang mengeluarkan pernyataan untuk mendesak pemerintah cq Presiden Joko Widodo mengakhiri aksi dinasti politik dan nepotisme. (*)