TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Hukum Nasional Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (THN AMIN), Ari Yusuf Amir mengapresiasi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terkait pelanggaran etik Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ari menjelaskan, putusan DKPP hadir di masa injury time yang memberi sanksi peringatan keras dan terakhir pada Ketua KPU RI.
Sebab telah melakukan pelanggaran etik dengan menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024, tanpa mengubah PKPU No 19 tahun 2023 terkait syarat usia capres cawapres usai keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90 tahun 2023.
“Tindakan komisioner KPU tersebut melanggar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu,” kata Ari kepada wartawan Selasa (6/2/2024).
Ari menjelaskan, pada pasal 11 huruf A dan huruf C Peraturan DKPP, dinyatakan bahwa (A) dalam melaksanakan prinsip berkepastian hukum, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dan (C) melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, dan menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Selain melanggar pasal 11 (huruf A dan C), lanjut Ari, tindakan komisioner KPU juga melanggar prinsip profesional dan prinsip ketaatan pada asas kecermatan dalam bertindak seperti diatur dalam Pasal 15 huruf C Peraturan DKPP.
Serta melanggar asas Kepentingan Umum seperti yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, yang mengatur penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan.
Ari menyebut, pasal-pasal yang digunakan DKPP untuk memvonis komisioner KPU itu menunjukkan ada pelanggaran serius berupa melanggar UU dan peraturan lain terkait Pemilu.
“Dan dalam dua kasus itu DKPP menjatuhkan sanksi yang sama, Peringatan Keras dan Terakhir. Tentu publik juga bertanya apa makna frasa terakhir, karena dalam kasus wanita emas juga disanksi peringatan keras dan terakhir,” ujar Ari.
Meski putusan atas pelanggaran etik tidak berdampak apapun, kata Ari, namun perlu dicatat bahwa rakyat Indonesia masih menjunjung nilai-nilai moral.
"Dalam konteks moral itulah Pemilu 2024 berada di ujung tanduk masalah legitimasi. Pemilu bisa saja memenuhi syarat legal (karena peraturan yang diubah dengan melanggar etika), tapi kehilangan legitimasinya," ujar dia.
Lebih lanjut, menurut Ari, Pemilu bisa saja kehilangan pengakuan publik atas keabsahannya karena berbagai pelanggaran etik.
Mulai putusan MK, keterlibatan presiden dan para menteri hingga ASN, pembagian sembako yang patut diduga ditujukan mempengaruhi pemilih untuk mendukung salah satu paslon, hingga pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPU.
Menurut Ari, masa depan Pemilu 2024 saat ini tergantung pada para penyelenggara negara dan penyelenggara Pemilu.
Baca juga: Puan Soal DKPP Sanksi Ketua KPU: Tindak Lanjuti Sesuai Aturan
"Bila KPU, Bawaslu dan penyelenggara negara tidak melakukan "tobat" maka darurat konstitusi membayangi hasil Pemilu 2024,” pungkas Doktor Ilmu Hukum ini.