Hasyim sendiri mengaku sedih karena hak suaranya tidak bisa digunakan
"Walau satu suara, tapi sangat berarti sekali untuk masa depan Indonesia. Sedih rasanya tidak bisa ikut pesta demokrasi 5 tahun ini," imbuhnya.
Ia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) punya regulasi terkait orang-orang yang alami kendala seperti diri ya.
"Teruntuk KPU dan Bawaslu, tolong agar dimudahkan lagi regulasinya, untuk para pekerja yang memang tidak bisa libur. Beri keringanan dan sosialisasi lagi bagi anggota KPPS ataupun saksi Bawaslu," tutupnya.
Berbeda dengan Hasyim, Niswah punya kisahnya sendiri, kenapa berakhir menjadi golput.
Ia mengaku telah terdata sebagai pemilih.
Perempuan berusia 27 tahun ini sudah jauh-jauh hari memantapkan hati hendak menggunakan hak suaranya.
Di sisi lain Niswah juga menjadi saksi di TPS yang berbeda.
Disebutkan jika lokasi TPS tempat ia bertugas menjadi saksi, hujan lebat.
"Sedari pagi Jakarta Utara hujan deras, beberapa TPS kebanjiran. Kebetulan TPS saya ambruk, jadi kami membetulkan dulu. Sampai jam 9-an baru loading surat suara. Sumpah , cek surat suara. Jam 10 baru mulai. Sedangkan DPT sudah menumpuk," jelasnya.
Sedangkan sebagai saksi, ia harus memastikan semua yang hadir ada di dalam daftar.
Niswah pun terlambat ketika hendak memilih ke TPS yang telah ditentukan.
"TPS saya jauh banget dari TPS tugas (menjadi saksi) jam 12 siang baru ke sana, terus ditolak. Saya gak sendirian. Beberapa anggota TPS yang juga petugas KPPS tidak bisa nyoblos karena ditolak," tambahnya.
Lebih lanjut Niswah pun berharap kedepan pemilihan umum bisa dipermudah dan menggunakan sistem digitalisasi.
"Bisa digitalisasi, aksesnya pakai barcode jadi gak perlu antri di KPU ketika pindah DPT. Dan ga perlu bawa surat-suratan ke TPS," pungkasnya.