TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah berpendapat pemerintah harus menaruh perhatian adanya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kembali memperlihatkan diri di masa transisi kepemimpinan 2024.
Jamak diketahui bahwa kelompok ini selalu mencari celah di tengah berbagai macam agenda nasional.
Kemunculan HTI merupakan sinyal kuat bahwa organisasi transnasional ini masih eksis di Indonesia.
"Meskipun HTI sudah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, tapi sejatinya sel-selnya masih tertancap kuat. Bayangkan, acara HTI beberapa waktu lalu dihadiri oleh ribuan orang. Pesannya gamblang menegakkan khilafah," tegas Syauqillah dihubungi, Kamis (22/02/2024).
Menurut Syauqillah, gerakan khilafah ini harus menjadi perhatian pemerintah.
Dimana kita tidak boleh terlena dengan terjadinya tren penurunan angka kejahatan terorisme akhir-akhir ini.
"Tetapi pemikiran radikalisme dan ekstremisme yang berbahaya bagi ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI, masih mengemuka," imbuhnya.
Baca juga: Densus 88 Lacak Medsos Wanita Penerobos Istana Negara: Terhubung pada Beberapa Akun Eks HTI
Ia mengatakan era media sosial yang begitu bebas, akan sangat rawan sekali warga netizen ikut terpapar dengan agitasi dan propaganda kelompok radikalis-ekstremis.
"Kelompok yang rawan terhasut seperti perempuan dan anak muda, baik milenial maupun gen-Z, sangat mungkin akan jadi sasaran target kelompok radikal teror, untuk direkrut dan digalang sebagai simpatisan baru," tegasnya.
Terlebih saat ini suasana politik nasional masih panas.
Polarisasi konfliktual di tingkat elite politik belum juga ada tanda-tanda rekonsiliasi total.
"Kalau ketegangan pasca pemilu 2024 tersebut tidak dimitigasi dengan cepat, kelompok teroris yang selama ini tertidur, akan bangun kembali, lalu membonceng kerusuhan politik," terangnya.
Oleh karena itu, Syauqillah mengingatkan pihak pemerintah mesti meningkatkan tingkat kewaspadaan dan ketegasan terhadap kampanye paham yang jelas bertentangan dengan Pancasila.
Jika perlu dibuat aturan yang tegas melarang penyebaran ideologi anti Pancasila.
Lebih baik mencegah daripada mengobati luka akibat kelalaian kita memastikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.
Tren terorisme juga mengalami pergeseran, khususnya terorisme siber.
"Semua unsur-unsur keamanan, mesti menghadirkan formula yang tepat untuk mengatasi ancaman terorisme siber secara komprehensif. Terutama juga membangun kontra narasi terhadap kampanye khilafah dari bekas pentolan HTI tadi," pungkasnya.