Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu 2024 secara nasional dari hasil real count sementara KPU memang tidak terlalu jauh berbeda dari perolehan pada 2019 lalu.
PKS dalam hitungan sementara bahkan tidak menembus lima besar perolehan suara terbesar.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, PKS belajar dari 10 tahun sebagai penyeimbang pemerintah.
Perolehan suara 2024 tidak cukup signifikan untuk menambah kursi di DPR RI.
“Tenggelam dan timbul bersama rakyat itu sangat penting. Menjadi penyambung lidah rakyat itu sebuah kehormatan. Tapi ternyata perilaku pemilih kita tidak mengapresiasi hal ini. Harusnya, mereka memberikan suaranya untuk PKS agar bisa menambah kursi di DPR. Fenomena PKS menjadi oposisi selama 10 tahun tidak semaksimal apa yang dilakukan PDIP. Hasilnya, PDIP panen pada pemilu kedua yang memperoleh suara terbesar,” tuturnya di Jakarta, dikutip Minggu (17/3/2024).
Menjadi oposisi selama 10 tahun, ungkapnya, cukup melelahkan.
Partai tidak dapat program dan kebijakan dari pemerintah.
“Saya pikir PKS akan rasional, kalau 10 tahun oposisi tidak maksimal membantu rakyat, saya pikir di dalam pemerintah pun justru membawa kebaikan. PKS tidak ada kendala dengan Prabowo, telah membersamai dua kali pemilu, dan ini tidak membuat chemistry mereka sulit untuk bersatu. Berbeda dengan PDIP. Dengan Gerindra pun setahu saya tidak ada kendala dalam membangun koalisi."
Pangi mengatakan tidak ada partai yang bisa menjadi oposisi selama 15 tahun.
Namun jika PKS mengambil jalan 15 tahun sebagai oposisi, maka hal tersebut harus diapresiasi.
“Saya pikir PKS lebih mempertimbangkan kebermanfaatan dan kemudhoratannya. Masyarakat masih berharap ada oposisi.”
Konstituen Terima Jika Partai Gabung Koalisi?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Bandung, Muhammad Fuady mengatakan koalisi itu mungkin saja terjadi, hanya persoalannya apakah konsituen PKS dapat menerima jika partai pilihannya memilih untuk berkoalisi dibanding menjadi oposisi.
“PKS adalah salah satu partai yang memiliki tingkat pragmatisme rendah. Partai ini relatif konsisten, berbasis ideologi keagamaan, baik di level elit maupun konstituennya. Pilihan menjadi oposisi juga sudah dilakukan sejak lama. Keputusan politik PKS biasanya memiliki resonansi yang sama dengan pemilih, artinya suara partai selaras dengan publiknya.”
Dalam politik, tambah Fuady, semua serba boleh dan serba mungkin. Mereka yang menjadi lawan politik seketika dapat menjadi kawan dalam perahu yang sama.
Apalagi jika mereka sebenarnya relatif memiliki ikatan emosional karena pernah berkoalisi di pilpres sebelumnya.
“Jadi bila relawan dan pemilih menginginkan PKS menjadi oposisi, sebaiknya musyawarah elite partai mempertimbangkan hal itu. Apalagi PKS sudah berpengalaman menjadi oposisi. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi untuk memastikan kebijakan pemerintah selaras dengan aspirasi publik.”
Baca juga: Kursi di DPRD DKI Naik Drastis, Parpol Koalisi Perubahan Rawat Kesetiaan Sampai Pilkada Serentak
Bagi pemilih PKS, tradisi PKS itu bukan pragmatisme tapi politik yang lebih ideologis, bukan kekuasaan yang menjadi tujuan. Artinya berada di luar lingkaran kekuasaan lebih terhormat bagi PKS.
“Partai ini tidak memiliki tradisi mengkhianati suara konstituennya.” (*/)