News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Analisis Pakar soal Peluang PDIP dan PKS Gabung Koalisi Gemoy Prabowo-Gibran

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo PKS dan PDIP.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Sekitar 7 bulan lagi Indonesia akan memiliki pemerintahan baru saat presiden dan wakil presiden terpilih dilantik.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Maruf Amin akan menyerahkan tongkat estafetnya untuk lima tahun mendatang.

Sejauh ini pasangan capres dan cawapres Prabowo-Gibran telah ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pilpres 2024.

Tinggal selangkah lagi, Prabowo-Gibran akan dilantik jadi presiden dan wakil presiden RI.

Sebelum pelantikan pada 20 Oktober 2024 mendatang, Prabowo-Gibran sejak sekarang telah melakukan konsolidasi mempersiapkan koalisi dengan partai politik dan nama-nama menteri pembantu presiden.

Sambil guyon,  Ketua Umun DPP Projo Budi Arie Setiadi membantah Prabowo-Gibran membentuk koalisi gemuk namun koalisi gemoy.

Selain partai politik dari Koalisi Indonesia Maju/KIM  yang mengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

Partai di luar KIM juga diprediksi akan bergabung memperkuat barisan Prabowo-Gibran termasuk kemungkinan PDIP dan PKS.

Kemungkinan PDIP Gabung KIM

Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi menduga PDI Perjuangan juga berhasrat bergabung dengan pemerintahan pasca-kepemimpinan Presiden Jokowi.

"Jangan-jangan PDI Perjuangan juga sedang mempertimbangkan juga untuk bergabung dengan pemerintahan Pak Prabowo, karena harusnya kan enggak ada masalah. Ini mungkin yang menjawab kenapa lama sekali untuk proses hak angket ini," ucap Burhanuddin dalam program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (20/3/2024).

Baca juga: Respons Sekjen Gerindra soal Surya Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sinyal Gabung Koalisi?

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia itu menduga PDIP sedang berupaya menjalin hubungan politik dengan pemerintahan Prabowo.

PDIP, kata Burhanuddin, sudah tidak mempunyai beban buat mengajukan hak angket di DPR karena pemilihan umum sudah selesai dan menjadi pemenang Pemilu.

Akan tetapi, PDIP yang tak kunjung menegaskan sikap soal hak angket juga menimbulkan tanda tanya.

"Ini pandangan saya, yang sedang dipikirkan oleh PDI Perjuangan adalah pemerintahan pasca Jokowi. Jadi sepertinya PDI Perjuangan masih mempertimbangkan untuk setidaknya membangun hubungan baik, untuk tidak mengatakan berkoalisi, dengan pemerintahan Prabowo," kata Burhanuddin.

"Karena kalau dari elektoral dan dari sisi masa jabatan Pak Jokowi yang nyaris habis kan seharusnya tidak ada masalah dengan PDI Perjuangan untuk segera mengajukan hak angket," sambung Burhanuddin.

Selain itu, kata Burhanuddin, hubungan antara Megawati dengan Prabowo Subianto selama ini baik-baik saja.

Sebab keduanya kerap bekerja sama dalam sejumlah kontestasi politik seperti mendukung pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI Jakarta 2012.

Kemudian Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto sebagai pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2009.

"Jadi jangan lupa Pak Prabowo itu mantan cawapresnya Ibu Mega di 2009, dan hubungan pak Prabowo dengan Ibu Mega itu bagus sekali," ujar Burhanuddin.

Berbeda dengan relasi Megawati dan Prabowo, Burhanuddin menganggap hubungan politik antara PDI-P dan Jokowi saat ini berada dalam titik terendah akibat persaingan politik dalam Pilpres 2024.

"Hubungan PDI Perjuangan dengan Presiden Jokowi sedang berada di titik nadir jadi menyulitkan secara komunikasi politik, tapi secara formal PDI Perjuangan masih menjadi bagian pemerintahan Pak Jokowi. Ini yang memberi semacam komplikasi tersendiri," kata Burhanuddin.

Peluang PKS Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menjadi oposisi atau berada di barisan luar pemerintahan selama kurang lebih sembilan tahun.

Lalu apakah PKS akan kembali menjadi oposisi bila nantinya Prabowo-Gibran dilantik menjadi pemimpin Indonesia?

Hal ini mengingat pada gelaran pesta demokrasi lima tahunan itu PKS mengusung capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN).

Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, PKS belajar dari 10 tahun sebagai penyeimbang pemerintah.

Sebab, sebagai opisisi perolehan suara di 2024 tidak cukup signifikan untuk menambah kursi di DPR RI.

“Tenggelam dan timbul bersama rakyat itu sangat penting. Menjadi penyambung lidah rakyat itu sebuah kehormatan. Tapi ternyata perilaku pemilih kita tidak mengapresiasi hal ini. Harusnya, mereka memberikan suaranya untuk PKS agar bisa menambah kursi di DPR. Fenomena PKS menjadi oposisi selama 10 tahun tidak semaksimal apa yang dilakukan PDIP. Hasilnya, PDIP panen pada pemilu kedua yang memperoleh suara terbesar,” kata Pangi dalam keterangannya, Senin (18/3/2024) dikutip dari Kompas.TV.

Ia menilai rakyat tak begitu mengapresiasi kinerja PKS sebagai oposisi.

“Rakyat tidak cukup cerdas untuk itu. Rakyat tidak memberikan reward terhadap perjuangan PKS. Saya berpikir bahwa PKS bisa nomor satu atau dua, tapi faktanya tidak seperti yang dihitung di atas kertas," katanya.

Menjadi oposisi selama hampir 10 tahun, kata dia, cukup melelahkan. Partai tidak dapat program dan kebijakan dari pemerintah.

Selain itu, banyak program kepala daerah dari PKS yang tidak bisa mendapat anggaran pusat karena dianggap oposisi, salah satunya adalah Depok.

“Saya pikir PKS akan rasional, kalau 10 tahun oposisi tidak maksimal membantu rakyat, saya pikir di dalam pemerintah pun tidak membawa kesialan, justru membawa kebaikan. PKS tidak ada kendala dengan Prabowo, telah membersamai dua kali pemilu, dan ini tidak membuat chemistry mereka sulit untuk bersatu," ujarnya.

"Berbeda dengan PDIP. Dengan Gerindra pun setahu saya tidak ada kendala dalam membangun koalisi," katanya.

Pangi mengatakan tidak ada partai yang bisa menjadi oposisi selama 15 tahun.

Namun, jika PKS mengambil jalan 15 tahun sebagai oposisi, hal tersebut harus diapresiasi.

“Saya pikir PKS lebih mempertimbangkan kebermanfaatan dan kemudhoratannya. Masyarakat masih berharap ada oposisi,” tuturnya.

Sementara itu, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Bandung, Muhammad Fuady mengatakan, koalisi dengan pemerintah itu mungkin saja terjadi.

Tapi persoalannya apakah konsituen PKS dapat menerima jika partai pilihannya memilih untuk berkoalisi dibanding menjadi oposisi.

“PKS adalah salah satu partai yang memiliki tingkat pragmatisme rendah. Partai ini relatif konsisten, berbasis ideologi keagamaan, baik di level elite maupun konstituennya," katanya.

"Pilihan menjadi oposisi juga sudah dilakukan sejak lama. Keputusan politik PKS biasanya memiliki resonansi yang sama dengan pemilih, artinya suara partai selaras dengan publiknya," imbuhnya.

Sumber: Kompas.TV/Warta Kota/Kompas.com

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini