News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Feri Amsari: MK Harus Ungkap Kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif Pemilu 2024

Editor: Acos Abdul Qodir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut tidak diperkenankan Pengadilan Negeri memutuskan untuk menunda Pemilu karena itu bukan yurisdiksi dan kewenangannya.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menekankan, Mahkamah Konstitusi (MK) bukan hanya diperuntukkan menilai angka perolehan suara pasangan calon (paslon) pada Pilpres 2024, tetapi juga memastikan proses angka itu muncul.

Hal ini disampaikan terkait upaya pengajuan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil pemilu presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan kubu capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD ke MK.

Menurut Feri, penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) tidak bisa dilihat dari angka pemilu. Hasil pemilu itu sendiri merupakan hasil dari politik 'gentong babi' berupa penggunaan insentif dana pemerintah untuk memenangkan salah satu paslon. 

Berdasarkan survei Litbang Kompas, 51 juta pemilih yang memilih karena menerima gentong babi berupa program bantuan sosial (bansos). Artinya, ada angka dan proses bermasalah yang perlu ditonjolkan dalam sidang penanganan PHPU di MK. 

“Bahkan perbuatan kecurangan oleh penyelenggara (KPU), ada berbagai rekaman yang memperlihatkan betapa mereka tidak mandiri. Bahkan, berencana melakukan kecurangan secara nasional yang kalau dibongkar di dalam sidang MK akan memperlihatkan betapa jahatnya proses penyelenggaraan pemilu saat ini,” beber Feri dikutip dari akun Youtube Akbar Faisal "Uncensored," sebagaimana keterangan pers diterima Tribunnews, Sabtu (23/3/2024).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu menuturkan, kecurangan pada Pilpres 2024 yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) harus dibongkar ke publik termasuk pelakunya.

“Dengan kerendahan hati kami ingin mengatakan bahwa segala kecurangan ini dirancang atas kehendak presiden. Presiden adalah salah satu lembaga negara yang harus ditunjuk hidung dalam proses untuk bertanggung jawab kepada publik kenapa begitu kacau pemilu,” tegasnya.

Selain itu, presiden harus mendapatkan pelajaran. Siapa pun presiden yang sudah masuk dalam tahap periode kedua tidak boleh terlalu jauh cawe-cawe untuk menentukan kemenangan dalam pemilu tertentu terhadap calon tertentu.

MK Diharapkan Ubah Hasil Pemilu

Lebih lanjut Feri mengatakan, secara konstitusional, MK diperuntukkan untuk mengubah hasil apabila terjadi kealpaan dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Baca juga: PAN Prediksi Tuntutan Pilpres Ulang Kubu Ganjar dan Anies Bakal Ditolak MK: Itu Mengada-ada

Dia menilai adalah hal aneh jika ada pihak yang menyebut bahwa proses di MK hanya sekadar proses tanpa ada perubahan hasil.

“Kalau begitu, untuk apa bersidang di MK dan untuk apa ada lembaga MK?” katanya.

Perbaikan sistem pemilu di Indonesia, tak terlepas dari perbaikan sistem penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK. Hakim MK, lanjutnya, sangat bisa dipengaruhi oleh kekuatan politik mana pun. 

Seorang hakim di MK bisa diganti di tengah jalan tanpa diketahui apa kesalahan sang hakim, padahal dia ditugaskan untuk melindungi nilai-nilai konstitusi. Oleh karena itu, perbaikan sistem pemilu akan dimulai dari proses perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK.

Pemisahan PHPU dan TSM

Pada kesempatan itu, Feri yang dikenal sebagai pemeran pada film "Dirty Vote" ini menyarankan agar MK memisahkan peradilan PHPU dengan TSM atau proses yang bermasalah pada pemilu seperti yang dilakukan MK sebelum tahun 2008. Jika tidak, maka MK akan menjadi pengadilan kalkulator.

Baca juga: Timnas AMIN Yakin NasDem, PKS, dan PKB Tetap Setia Kawal Sengketa Pilpres 2024 di MK

Peneliti senior di Universitas Andalas itu menyebut, pendekatan penggunaan perlindungan asas pemilu seperti diatur pada pasal 22E ayat 1 UUD 1945 bisa diterapkan dalam peradilan sengketa PHPU. 

Pasal tersebut menyebut bahwa proses pemilu tidak sekadar langsung umum bebas dan rahasia yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun, tetapi ada asas jujur dan adil.

“Dan ini tidak bisa ditegakkan dengan menilai angka yang muncul,” katanya.

Selain itu, proses peradilan PHPU perlu memperhatikan pasal 3 UU Pemilu Nomor 7/2017 yang mengatur prinsip penyelenggaraan yang terbuka, profesional dan efektif. Padahal, KPU dianggap tertutup, tidak profesional terbukti dari Sirekap yang kacau.
Soal efektivitas dan efisiensi KPU pun dipertanyakan. Sejauh ini, Feri menilai KPU tidak efektif karena dengan teknologi yang ada saat ini, KPU sering mubazir menggunakan anggaran.

“KPU sering rapat, tiap bulan padahal ada Zoom dan KPU tidak mandiri terlalu bergantung pada Komisi II DPR padahal dia penyelenggara pemilu, sementara Komisi II DPR setidak-tidaknya akan menjadi peserta pemilu,” bebernya.

Baca juga: BREAKING NEWS: MUI Minta Film Kiblat Ditarik dari Peredaran, Ini Alasannya

Feri menambahkan, sengketa Pilpres 2024 jangan hanya meributkan hasil, karena KPU sudah pasti memiliki data C Hasil yang lebih baik dibanding paslon.

“Sulit kalau berdasarkan pada C Hasil karena sudah direkayasa. Hasil itu bagian dari pork barrel (politik gentong babi),” pungkasnya.

Diketahui, dua paslon peserta Pilpres 2024, paslon nomor 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan paslon nomor 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah mendaftarkan gugatan hasil Pilpres 2024 ke MK pada Sabtu (23/3/2024) sore.

Sementara itu, tim hukum Amin mengajukan permohonan PHPU Pilpres 2024 ke MK pada Kamis (21/3/2024).

KPU pada Rabu (20/3/2024) secara resmi mengumumkan paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menang dengan perolehan 96.214.691 suara. 

Sementara itu, Amin menempati urutan kedua dengan raihan 40.971.906 suara. Lalu, di urutan ketiga Ganjar -Mahfud mengantongi 27.040.878 suara. (Tribunnews/Yls)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini