Sebab, total kursi parpol koalisi pendukung Prabowo-Gibran justru minoritas di parlemen, yakni hanya 280 kursi.
"Lebih sedikit dibanding total perolehan gabungan parpol pendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang sebanyak 300 kursi,” ucapnya.
Di sisi lain, Gerindra bukanlah pemenang Pemilu. Hanya menduduki peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar.
Ahsan menegaskan, akibatnya posisi Prabowo menjadi kurang strategis, bahkan berpeluang disandera parpol oposisi lewat parlemen.
Di samping itu, Gerindra tak memiliki magnet politik besar untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen.
"Terutama dalam menggalang dukungan dari parpol oposisi, yang tentu akan memaksimalkan perannya di parlemen untuk menjaga citra dan basis dukungan konstituennya sampai pemilu selanjutnya," tegas Ahsan.
Prabowo, menurut Ahsan, memang memegang dukungan Golkar yang jumlah kursinya diproyeksikan terpaut tipis dari PDIP, sehingga potensial punya magnet politik besar di parlemen.
Namun, dia berpendapat bahwa Golkar bukan partai pengusung utama Prabowo, sehingga hubungan politik di antara mereka hanya bersifat resiprokal atau timbal balik.
Ahsan menuturkan, tak ada jaminan Golkar–sebagaimana pula parpol koalisi Prabowo selain Gerindra akan selalu mendukung di parlemen.
“Selama ini suara Gerindra sangat dipengaruhi coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo adalah wajah tunggal partai di tengah tak ada tokoh alternatif lain yang bisa sebesar dirinya. Maka, citra buruk pada Prabowo akan sangat berdampak pada suara partai,” katanya.