Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Chief Research Officer Political Strategy Group (PSG), Muhammad Ahsan Ridhoi mengatakan, ke depannya Partai Gerindra harus mengambil langkah-langkah strategis untuk Pemerintahan Prabowo Subianto nantinya.
Menurut Ahsan, satu langkah yang perlu dilakukan, yakni Prabowo harus mengoptimalkan perannya ketika transisi pemerintahan dari Joko Widodo (Jokowi) ke dirinya.
"Prabowo tak bisa berpangku tangan pada Jokowi dalam melakukan transisi, meskipun pemerintahannya mengusung ide melanjutkan," kata Ahsan kepada wartawan, Senin (1/4/2024).
Dia menilai, Pemerintahan Prabowo akan rapuh jika mengamini pendapat beberapa menteri-menteri Jokowi yang menyatakan tak perlu ada tim transisi.
"Itu akan membuat pondasi pemerintahan Prabowo sangat rapuh, karena bukan ia sendiri yang membangunnya," ujar Ahsan.
Kemudian, Partai Gerindra harus lebih lentur menjalin komunikasi di parlemen mengingat selama ini terjadi kebekuan komunikasi dalam proses legislasi akibat garis api kelompok koalisi dan oposisi.
"Gerindra mesti memanfaatkan secara serius momentum Pilkada 2024 sebagai jalan regenerasi figur politik nasional guna menjaga dan meningkatkan basis suara pada Pemilu selanjutnya," ucap Ahsan.
Baca juga: Perlawanan Terbaru PDIP soal Kecurangan Pemilu, Gugat Putusan MK ke PTUN hingga Respons Kubu Prabowo
Menurut Ahsan, Gerindra wajib memaksimalkan perjuangan di Pilkada 2024 agar bisa membalik keadaan.
Dia menjelaskan, posisi Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo, harus dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menjaring sosok-sosok potensial dari internal maupun wajah baru dari luar.
“Khususnya pada wilayah-wilayah strategis, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara,” kata Ahsan.
Dengan begitu, kata Ahsan, peluang Gerindra untuk melanjutkan kemenangan di Pilpres lebih terbuka.
Baca juga: Prabowo Lanjut Kunjungi Jepang Usai Temui Presiden Xi Jinping di China
Bahkan, ketika nanti Prabowo tak lagi maju, Gerindra tetap bisa menjadi poros utama penentu bangunan koalisi di Pilpres 2029.
Ahsan menyampaikan hal ini mengingat Pemerintahan Prabowo berpotensi menghadapi tantangan politik.
Sebab, total kursi parpol koalisi pendukung Prabowo-Gibran justru minoritas di parlemen, yakni hanya 280 kursi.
"Lebih sedikit dibanding total perolehan gabungan parpol pendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang sebanyak 300 kursi,” ucapnya.
Di sisi lain, Gerindra bukanlah pemenang Pemilu. Hanya menduduki peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar.
Ahsan menegaskan, akibatnya posisi Prabowo menjadi kurang strategis, bahkan berpeluang disandera parpol oposisi lewat parlemen.
Di samping itu, Gerindra tak memiliki magnet politik besar untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen.
"Terutama dalam menggalang dukungan dari parpol oposisi, yang tentu akan memaksimalkan perannya di parlemen untuk menjaga citra dan basis dukungan konstituennya sampai pemilu selanjutnya," tegas Ahsan.
Prabowo, menurut Ahsan, memang memegang dukungan Golkar yang jumlah kursinya diproyeksikan terpaut tipis dari PDIP, sehingga potensial punya magnet politik besar di parlemen.
Namun, dia berpendapat bahwa Golkar bukan partai pengusung utama Prabowo, sehingga hubungan politik di antara mereka hanya bersifat resiprokal atau timbal balik.
Ahsan menuturkan, tak ada jaminan Golkar–sebagaimana pula parpol koalisi Prabowo selain Gerindra akan selalu mendukung di parlemen.
“Selama ini suara Gerindra sangat dipengaruhi coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo adalah wajah tunggal partai di tengah tak ada tokoh alternatif lain yang bisa sebesar dirinya. Maka, citra buruk pada Prabowo akan sangat berdampak pada suara partai,” katanya.