TRIBUNNEWS.COM - Mengenal tentang apa itu Amicus Curiae, yang diajukan oleh sejumlah seniman dan budayawan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, sebanyak 159 seniman termasuk budayawan Butet Kartaredjasa mengajukan amicus curiae (sahabat pengadilan) agar hakim MK memutus perkara sengketa Pilpres 2024 secara adil.
Para seniman tersebut, mengirim dokumen kajian resmi kepada delapan hakim konstitusi.
"Jadi tujuan kami adalah untuk mengetuk hati para hakim untuk memutus mengenai pemilu (Pemilihan Umum) 2024 dengan hati nurani dengan rasa keadilan," kata perwakilan seniman, Ayu Utami, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024).
Lebih lanjut, Ayu mengungkapkan, penyampaian amicus curiae menyusul adanya keresahan para seniman melihat Pilpres 2024 yang dinilai ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif.
Oleh sebab itu, menurut Ayu, pihaknya ingin mempertahankan kebebasan melalui kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir, dan kebebasan manusia secara umum melalui penyampaian amicus curiae.
Lantas, apa itu Amicus Curiae?
Tentang Amicus Curiae
Dikutip dari stih-painan.ac.id, Amicus Curiae adalah sebuah istilah latin yang berarti “Friends of The Court atau Sahabat Pengadilan.
Amicus curiae ini bisa disebut sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dan bisa memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Namun, keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini hukum.
Hal tersebut, dimaksudkan untuk membuat terang sebuah peristiwa hukum agar hakim dapat mengambil sebuah keputusan.
Baca juga: Ketua KPU Ditegur Ketua MK Karena Tidur Saat Sidang Sengketa Pilpres Berlangsung
Adapun praktik amicus curiae sebenarnya lazim dipakai di negara yang menggunakan sistem hukum common law, dan telah dapat diterapkan di pengadilan di Indonesia.
Di sisi lain, Mahkamah Agung memang tidak memiliki aturan tentang Amicus Curiae, namun konsep Amicus Curiae ini dapat diterima sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 itu, tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dilansir situs Universitas Jenderal Soedirman.