Demokrasi tanpa ada etika, kesetaraan dan keadilan sosial, hanyalah mitos belaka.
“Mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, namun membiarkan adanya pelanggaran etika, merayakan pelanggaran hukum dan ketidakadilan adalah puncak kemunafikan sebuah bangsa,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengacara yang juga aktivis perempuan Sri Wiyanti Eddyono berharap, para hakim MK memiliki nalar untuk secara komprehensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal.
Baca juga: Jelang Sidang Putusan Sengketa Pilpres 204, Majelis Hakim MK Diharapkan Dengar Kritik Masyarakat
Menurut dosen Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM itu, putusan MK akan berdampak pada nasib bangsa Indonesia pasca-25 tahun Era Reformasi di Indonesia.
“Normalisasi kecarut-marutan patut kita respons, baik sebagai insan pribadi, rakyat atau warga negara maupun selaku akademisi. Kita berharap masih ada nalar bagi para hakim di MK yang secara komperhensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal. Kita bicara pada nasib bangsa Indonesia yang harapannya berubah lebih baik dalam mencapai paska 25 tahun Era Reformasi Indonesia,” ujarnya.
Peneliti ini menyebut bahwa aspek dan kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak baik-baik saja dan kondisi buruk ini telah berjalan puluhan tahun.
Era reformasi tidak bisa meretas problematika penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah dan memperkuat pihak yang memiliki posisi, cenderung tebang pilih, dan menjadi cara untuk mengambil keuntungan bagi mereka yang berkuasa bahkan di level yang paling bawah.
Hukum dan Politik
Lebih jauh, Sri Wiyanti menuturkan, paradigma hukum yang sangat erat dengan politik.
Dalam wacana hukum dan politik yang berkeadilan, hukum diidealkan sebagai sebuah kesepakatan masyarakat yang berbasis pada idealitas dan moral kebajikan untuk menjaga aras politik dan pembangunan.
Tapi, dalam praktiknya paradigma hukum yang berkeadilan tertebas dengan politik yang buas, maskulin, dan tanpa dasar nilai-nilai kemaslahatan.
“Proses pembentukan hukum diwarnai pembentukan politik praktis dan produk hukum menjadi legitimasi kekuasaan untuk kepentingan elite semata. Apa yang terjadi dalam perdebatan Pemilu 2024 adalah contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi yaitu DPR dalam pengesahan Bansos yang digulirkan secara masif selama Pemilu. Ini contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana Bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated,” paparnya.
MK dan Kekuasaan
Sri Wiyanti juga menyebut paradigma hukum bekerja berdasarkan struktur hukum, yaitu institusi peradilan, aparat hukum, dan pemerintahan.
Mengutip pandangan Prof Sajipto Raharjo ada lima hal yang sangat berpengaruh pada struktur hukum bekerja, yakni nilai-nilai, kapasitas, kepentingan, budaya institusi dan kebijakan turunan.
Menurutnya, lima aspek ini sangat problematik dalam konteks Indonesia masa kini: Mahkamah Agung (MA) dan MK sebagai dua pilar keadilan paling akhir cenderung tidak imun dengan kekuasaaan dan kepentingan politik karena digunakan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.
Baca juga: Survei Indikator: Kepercayaan Publik Terhadap MK Mulai Pulih Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024