Benny menjelaskan, demokrasi sejatinya adalah ketika rakyat memiliki kemampuan untuk menentukan pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau pengaruh dari kekuatan tertentu.
"Sejalan dengan pesan Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, menegaskan bahwa rakyat harus diberi hak untuk memilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan kehendak mereka, bukan yang dipaksakan oleh kekuatan politik tertentu," ujarnya.
Demokrasi, kata dia, harus memungkinkan rakyat untuk merdeka sepenuhnya dalam menentukan pemimpin mereka.
"Pemaksaan calon pemimpin yang belum mumpuni, yang tidak memiliki kapasitas atau rekam jejak yang jelas, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap esensi demokrasi itu sendiri," ucap Benny.
Menurutnya, Megawati menginginkan pemimpin sejati yang lahir dari kehendak rakyat dan memiliki kualitas kepemimpinan, bukan hanya pencitraan yang dibangun oleh media atau kekuatan politik tertentu.
"Megawati juga mengingatkan bahwa proses pencarian pemimpin oleh rakyat tidak boleh dimanipulasi. Proses ini harus benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan kehendak elite politik," tutur Benny.
Benny menuturkan, demokrasi Pancasila sebagai fondasi menuntut agar pemimpin yang dipilih mampu mengemban amanat rakyat dengan integritas.
Karenanya, dia mendorong agar partai politik mencari pemimpin yang terbaik, bukan hanya sekadar alat untuk meraih kekuasaan.
"Untuk menjaga tegaknya nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi, elit politik harus kembali kepada cita-cita pendiri bangsa," tegas Benny.
Benny menuturkan, politik harus menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar merebut kekuasaan.
"Demokrasi Pancasila harus menjadi acuan dalam berpikir, bertindak, dan bernalar dalam politik. Demokrasi Pancasila harus menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan partai atau orang yang menggunakan kekuasaannya untuk membeli partai dan menjadikannya sebagai alat kepentingan politik semata," ungkap Benny.
Menurutnya, satu di antara masalah utama dalam demokrasi Indonesia adalah berkembangnya budaya kepalsuan.
Dia menjelaskan, rakyat seringkali digiring untuk memilih pemimpin berdasarkan citra yang dibangun oleh media, bukan berdasarkan realitas yang sebenarnya.
"Akibatnya, pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak selalu memiliki kualitas yang diperlukan untuk memimpin bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Socrates dan Plato, dua filsuf besar dari Yunani kuno, telah mengingatkan bahaya demokrasi tanpa arah yang jelas. Demokrasi tanpa diimbangi dengan pendidikan yang baik dan kemampuan untuk memahami realitas akan membuat rakyat mudah terpengaruh oleh mitos dan citra palsu," papar Benny.