Rupanya, tangisan itu disebabkan karena Aulia teringat akan sosok Edi Candra Purnama alias Pupung Sadili, orang yang telah ia bunuh.
'Kenapa menangis," tanya Ketua Majelis Hakim Suharno.
"Ingat suami," jawab Aulia terbata-bata.
Berbanding terbalik dengan Aulia, sang anak Geovanni terlihat lebih tenang.
Namun, pemuda 25 tahun itu hanya tertunduk sepanjang Jaksa Sigit Hendradi membacakan dakwaannya.
Usai persidangan, keluarga korban pembunuhan meluapkan emosinya dengan meneriaki Aulia dan Geovanni.
"Air mata buaya," teriak seorang keluarga Pupung.
"Pembunuh, dasar pembunuh!" teriak anggota keluarga lainnya.
Tak cuma berteriak, seorang anggota keluarga korban juga nekat memukul kepala Geovanni saat terdakwa hendak dibawa ke ruang tunggu tahanan.
Meski begitu, Aulia tidak memberikan respons apa pun. Ia bungkam dan terus berjalan dengan kepala tertunduk.
• Polisi Kantongi Identitas Pemasok Obat Terlarang ke Lucinta Luna
• Persija Jakarta Permalukan Persela Lamongan, Andritany Ambil Hikmah Berlaga di Piala Gubernur Jatim
Kakak kandung Pupung, Nani Sadili, memberikan pernyataan soal luapan emosional pihak keluarga.
"Itu reaksi alamiah. Di akhir sidang itu saya keluar karena panas, jadi tidak terlalu mendengar," kata Nani.
Di sisi lain, Nani sedikit menceritakan sosok Aulia di mata keluarga.
"Selama ini hubungannya baik dengan pelaku, tidak ada kejadian apa-apa sampai terjadi kejadian sedemikian rupa," ujarnya.
Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa keduanya telah melakukan pembunuhan berencana.
Jaksa menyatakan, baik Aulia maupun Geovanni terancam hukuman mati.
"Dakwaan primer Pasal 340 Jo 55 ayat 1 ke-1 subsider Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana hukuman mati," kata Jaksa Sigit Hendradi. (TribunJakarta.com/Annas Furqon Hakim)