News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kerumunan Massa di Acara Rizieq Shihab

Rizieq Shihab Singgung Disparitas Hukum dalam Rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) bersama menantunya, Muhammad Hanif Alattas dan Dirut RS UMMI Andi Tatat dalam sidang pembacaan Duplik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (17/6/2021).

Awalnya Arsul mengira pedoman tersebut akan mengubah kultur dimana JPU di lapangan dapat mengekspresikan kewenangannya dengan lebih baik.

"Namun saya lihat terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum, khususnya disparitas ini terjadi dalam perkara yang sering oleh publik dimaknai suatu berkaitan dengan kebebasan berekspresi, hak berdemokrasi," ujar Arsul, dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung, Senin (14/6/2021).

Arsul kemudian mencontohkan disparitas itu terjadi dalam kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan kasus yang menjerat Sunda Empire.

Menurutnya, orang yang memiliki sikap kecenderungan berseberangan dengan pemerintah mendapatkan hukuman maksimal.

Sementara di kasus Sunda Empire -- dengan asumsi sikap politik yang tidak berseberangan dengan pemerintah-- Arsul menilai hukuman yang menjerat mereka tidaklah maksimal, meski dakwaannya serupa dengan orang yang berseberangan dengan pemerintah.

"Disparitas ini misalnya saya lihat yang sekarang prosesnya sedang berjalan misalnya dalam kasus Rizieq Shihab, dalam kasus Syahganda Nainggolan, dalam kasus kalau dulu Ratna Sarumpaet. Ini perkara ini dituntut maksimal 6 tahun, padahal saya lihat perkaranya yang didakwakan pasalnya sama kemudian dikaitkan dengan status penyertaannya pasal 55 itu juga sama, tapi tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang posisinya berseberangan dengan pemerintah atau yang berkuasa," jelas Arsul.

"Coba kita lihat kalau posisi politiknya tidak berseberangan dengan pemerintah, katakanlah soal petinggi Sunda Empire Nasriban, Ratna Ningrum, Ki Ranggga Sasana itu tuntutannya 4 tahun," imbuhnya.

Wakil Ketua MPR RI itu pun meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan hal itu. Sebab, hal itu menimbulkan kesan Jaksa Agung menjadi alat kekuasaan. Dimana menegakkan hukum sebagai alat kekuasaan dan bukannya alat negara.

"Ini kemudian menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung juga dalam tanda kutip 'tidak lagi murni menjadi alat negara yg melakukan penegakan hukum', tetapi juga menjadi 'alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum'," tandasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini