Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Konstitusi mencecar pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) dalam persidangan, Kamis (1/10/2015).
Cecaran itu datang dari anggota Majelis Hakim Konstitusi Maria Farida, lantaran ada perbedaan tanda tangan antara permohonan awal atau pendahuluan yang diajukan oleh pemohon dalam permohonan perubahan.
"Ada perbedaan sangat besar yakni kuasa hukumnya. Tandatangan kuasa hukumnya saya melihatnya seperti ditandatangani satu orang dalam perbaikan permohonan. Karena ini berbeda sekali dari permohonan awal," kata Maria dalam persidangan.
Perkara ini, pemohon menyoalkan kewenangan kepolisian menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Menyambung Hakim Maria, Ketua Hakim Arief Hidayat langsung meminta kuasa hukum pemohon untuk segera mengklarifikasinya.
Sebab kalau tandatangannya terbukti palsu maka menurutnya permohonan ini dianggap main-main.
"Ini sangat bahaya. Saya mohon pihak terkait (kepolisian) bisa lihat di situ. Nanti coba dilihat," kata Arief.
Arief memberi peringatan jangan sampai dalam forum yang mulia di MK terjadi hal yang dianggapnya sebagai hal yang tidak senonoh.
Sebab tidak seharusnya institusi peradilan yang dianggapnya mulia, pemohon malah memalsukan tanda tangan.
Menjawab masalah itu, pemohon Erwin Natosmal Oemar mengakui, permohonannya diajukan secara terburu-buru. Tapi ia menegaskan bukan berarti para pemohon mengabaikan proses detail soal tandatangan tersebut.
"Ini terbukti dari adanya pemberitahuan mengenai perubahan pasal hukum maupun yang tidak kami tandatangani. Jadi yang tanda tangan orangnya langsung. itu bisa dikonfirmasi ke masing-masing," kata Erwin.
Atas temuan itu, hakim Arief juga meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari kuasa hukum pemohon khususnya yang membubuhkan tandatangan untuk diserahkan ke paniteraan MK untuk dilakukan pengecekan. Arief juga meminta Polri mengecek kebenaran tandatangan itu.
"Polri sebagai pihak terkait dalam kasus ini kami minta klarifikasi dan identifikasi tanda tangan, Polri betul-betul bisa independen. Artinya keterangan itu kalau memang tanda tangannya otentik, katakan otentik. Kalau tidak, katakan tak otentik. Karena bisa berakibat kalau ini palsu maka permohonan ini gugur," kata Arief.
Arief menegaskan putusan pemalsuan tanda tangan ini bisa berakibat ke hukum pidana. Tapi karena ini bukan delik aduan maka ia mempersilakan Polri yang menangani persoalan ini.
Ia pun meminta Polri independen dalam mengusut kasus tersebut. Sebab menurutnya kredibilitas Polri juga dipertaruhkan.
Arief meminta paling lambat pada sidang yang akan datang, identifikasi tandatangan bisa diputuskan keasliannya. Sebab, kata dia, hal ini berhubungan erat dengan kelanjutan uji materi ini.
"Ini untuk menjaga kewibawaan mahkamah. Kalau ada permohonan dengan tandatangan palsu, itu melecehkan mahkamah. Para hakim sepakat harus kita jaga bersama kewibawaan mahkamah. Karena itu saya minta pada Polri meskipun sebagai pihak terkait yang berkenaan dengan permohonan ini, saya mohon Polri tetap independen," kata Arief.
Di tempat yang sama, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Brigadir Jenderal Pol Sam Budigusdian sebagai pihak terkait menyesalkan adanya perbedaan tanda tangan dalam permohonan tersebut. Sam mengyebut, jika terbukti ada pemalsuan tanda tangan, maka itu adalah penghinaan pada peradilan.
"Ini berat sekali menurut saya, pengadilan yang sangat mulia dilecehkan. Kalau itu palsu pengadilan dihentikan. Ini sungguh memalukan dan melecehkan," kata Sam.
Sam juga mendukung upaya majelis hakim yang meminta agar ahli forensi dari kepolisian akan turun tangan demi mengusut tandatangan palsu itu dengan pembanding KTP masing-masing kuasa hukum pemohon. Menurut Sam jika terbukti pemohon bisa dijerat dengan pasal pemalsuan.
Untuk diketahui, Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumalh Pasal dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ.
Mereka menyoalkan kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM dan STNK.