TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keabsahan Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis sebagai pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipertanyakan.
Ketiganya sebelumnya dilantik saat paripurna DPD Selasa lalu. Dalam rapat paripurna tersebut hanya dihadiri 52 orang anggota DPD dari total 132 anggota.
Ditambah lagi Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi persnya kemarin mengatakan bahwa pihaknya tidak melantik meski secara fisik datang ke rapat DPD dan menuntun pengambilan sumpah tiga pimpinan DPD.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh mereka kepada Pimpinan DPD yang baru bukan pelantikan.
MA, kata dia, hanya menjalankan penuntunan sumpah kepada pimpinan DPD sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan dilakukan oleh Ketua MA.
"Jadi kami hanya menuntun sumpah, bukan melantik ya. Di dalam undang-undang itu tertulis bahwa MA berhak melakukan penuntunan sumpah jabatan," katanya.
Dia mengaku bahwa ketika Ketua MA berhalangan, maka wakil ketua MA berwenang untuk melakukan tugas dan fungsi dari MA.
"Dalam hal ini, Ketua MA sudah melimpahkannya kepada wakil ketua MA," kata dia. Sementara dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014, penuntunan sumpah jabatan MPR, DPR dan DPD dilakukan oleh Mahkamah Agung, sementara pelantikan hanya dilakukan oleh MPR kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Suhadi juga menjelaskan mengenai dampak yang akan timbul ketika DPD mengubah tata tertib. Tata tertib yang dimaksud adalah Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatakan bahwa pimpinan DPD hanya berusia 2,5 tahun dan digantikan dengan Tata Tertib Nomor 3 Tahun 2017 bahwa pimpinan DPD menjalankan masa jabatan selama lima tahun.
"Ketika ada pemilihan ketua baru dari Pimpinan DPD, Ketua Mahkamah Agung bertugas menyumpah pimpinan yang baru," jelasnya. Hal yang sama, menurut dia, yang kemudian pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung saat M Saleh dan GKR Hemas serta pimpinan DPR lainnya disumpah usai tertangkapnya Irman Gusman. "Kami tidak urusan rumah tangga DPD. Itu urusan DPD," kata dia.
Saat ditanya terkait salah ketik di dalam surat Sumpah Jabatan kepada DPD, Suhadi menjelaskan bahwa hal tersebut sudah direvisi. Perevisian itu disebut 'Renvoi' yang tidak mengubah seluruh isi putusan, hanya pada redaksional amar putusan.
"Sudah direvisi hanya pada lembar yang salah saja, tidak diubah keseluruhan, karena form yang asli nanti menjadi dua," katanya.
Adapun kesalahan di Perkara Nomor 38 P/HUM/2016, terdapat 'kesalahan' pengetikan yaitu amar:
"Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tata Tertib." Itu sudah direvisi oleh majelis yang bersangkutan dengan mencoret redaksional "Rakyat", "Undang-undang" dan "Sah".
"Jadi sudah dicoret oleh Majelis Hakim yang bersangkutan," kata Suhadi. (Fajar/Amriyono)