Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) telah menunjukan ketidakkonsistenan dalam bersikap dengan melantik pimpinan DPD RI baru.
Pelantikan tersebut dinilai bertentangan dengan putusan MA.
Peneliti Masyarkat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Adery Ardhan mengatakan pelantikan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI menimbulkan pertanyaan.
terlebih pelatikan tersebut dihadiri Hakim Agung Suwardi.
"Secara langsung berarti Mahkamah Agung menyetujui pengangkatan ketua DPD RI yang baru," ujarnya dalam siaran pers MaPPI FHUI.
Alasan DPD RI untuk mengabaikan putusan MA tersebut karena ada kesalahan pengetikan dari DPD menjadi DPRD juga tidak bisa diterima.
Menurut Adery Ardhan seharusnya kesalahan pengetikan tidak serta merta membatalkan substansi putusan.
"Inkonsistensi ini juga menunjukkan bahwa Mahkamah Agung belum melaksanakan tugasnya untuk menjaga kesatuan hukum dengan baik," katanya.
Menurut dia, inkonsistensi MA akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Penegakkan hukum yang inkonsisten akan berimplikasi hilangnya kepastian hukum," katanya.
Atas inkonsistensi itu, MaPPI FHUI meminta agar MA sedapat mungkin terus menajga harkat dan martabatnya sebagai lembaga peradilan tertinggi.
MA juga diharapkan tidak ikut-ikutan dalamm konflik politik yang tengah berlangsung di DPD RI.
"Meminta agar Komisi Yudisial untuk memeriksa adanya potensi konflik kepentingan dalam perkara ini guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peerilaku Hakim," ujarnya.
Sidang paripurna DPD RI menghasilkan keputusan Oesman Sapta Odang jadi ketua DPD baru.
Selain itu, pimpinan DPD RI baru lainnya pun diputus dalam rapat tersebut.
Keputusan tersebut bertentangan dengan keputusan MA yang mencabut Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun.