Ibunda Subadio, Ibu Sastrosatomo, pernah datang menjenguk putranya di penjara dan saya merasa sangat terkesan oleh kepribadiannya.
Kalimat yang diucapkan setiap hari oleh Subadio sesudah tengah malam itu mengganggu nurani saya.
Berkat pesan ibunya, Subadio bisa menentukan sikap.
Bagaimana sikap saya sendiri? Saya belum pernah memikirkannya.
Pandangan itu juga merangsang saya untuk bertanya-tanya di dalam hati, "Bagaimana pandangan Ibu Sastrosatomo sendiri terhadap Sukarno?
Apakah ia membela Sukarno? Apakah ia seorang Indonesia suku Jawa yang mengkultuskan Sukarno? Mengapa ia berpesan agar putranya memohon pada Tuhan untuk memaafkan Sukarno?”
Saya menarik kesimpulan, Ibu Sastrosatomo tidak membela Sukarno.
Ia meminta putranya mengucapkan kalimat yang diajarkannya agar Subadio jangan hidup dengan membenci seseorang, sekalipun orang itu Sukarno yang menjebloskannya ke tahanan.
Hal ini dilakukannya terutama demi kesejahteraan batin putranya sendiri.
Secara tidak sengaja, saya merasa tertolong. Saya terbawa untuk tidak membenci Sukarno sebab benci tidak ada gunanya.
Baca: Pernah Ukir Sejarah, Akankah Halimah Yacob Jadi Wanita Presiden Pertama Singapura?
Walaupun demikian, saya merasa tidak perlu memintakan maaf untuknya.
Agustus 1967, saya dan istri tiba di bandara Schiphol, Belanda. Saya tercengang karena ditunggu sekitar 30 wartawan.
Padahal, kedatangan saya itu hanya sebagai orang biasa yang ingin mengumpulkan data untuk keperluan pribadi.