Ketiga, pemutaran film itu sejatinya didedikasikan, di samping untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara untuk tahu sejarah bangsanya (rights to know), juga untuk mengingatkan bangsa ini supaya sejarah kelam bangsa masa lalu tidak berulang kembali.
Keempat, sekira ada pihak yang ingin memproduksi film baru, seperti Presiden Jokowi yang mengusulkan agar film G30S/PKI yang dibuat pada tahun 1984, diproduksi ulang dengan gaya milenial agar mudah diterima oleh generasi muda, itu adalah hak mereka.
"Hanya perlu dipertimbangkan bahwa hal itu sejatinya dilakukan atas kehendak bersama seluruh atau mayoritas rakyat," katanya.
Keinginan tersebut jangan sampai keluar karena dendam sejarah.
Pembuatan film harus didahului riset yang memadai oleh tim independen.
Sehingga, pengungkapan peristiwa tidak boleh merubah konten sejarah dan harus dilakukan dengan objektif serta tidak memutarbalikkan fakta sejarah.
"Juga penting dihitung bahwa keinginan itu telah memperhitungkan bahwa manfaatnya lebih besar dari kemudratan yang ditimbulkan," katanya.
Kelima, sejatinya Indonesia berbesar hati dan dengan penuh kesadaran mengakui sejarah kelam masa lalu.
"Kemudian secara kolektif menyelesaikan sejarahnya sendiri dengan cara dan jalan Indonesia sendiri," ucapnya.
Keenam, negara harus hadir menjamin bahwa peristiwa-peristiwa kelam kemanusiaan yang sama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang (guarantees of nonrecurrence).