TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menjelaskan aturan mengenai senjata harus rigid.
Aturan mengenai persenjataan, kata Khairul harus benar-benar detail dan jelas.
Begitu juga dengan pengadaan untuk kebutuhan masing-masing instansi yang dapat menggunakan senjata api.
"Justru aturannya jangan disederhanakan. Harus rumit dan benar-benar detail. Tidak bisa digabung begitu saja," ujarnya saat dihubungi, Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Hal itu menjawab dari rencana Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto yang akan mengkaji ulang 11 aturan mengenai pengadaan senjata.
Aturan-aturan yang dimaksud adalah UU No 16 Tahun 2012, Undang-Undang (UU) nomor 8 tahun 1948, UU darurat nomor 12 tahun 1951 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 20 tahun 1960 serta peraturan lainnya.
Baca: Seorang Mahasiswa Mengaku Dipukul dan Ditembak Anggota Polisi
Khairul menjelaskan selama ini aturan tersebut dipakai dan tidak mendapatkan masalah yang berarti.
Hanya pada kasus penerimaan 280 pucuk senjata api kali ini yang menjadi perhatian publik.
"Ini sudah yang ketiga. Dua pengiriman sebelumnya kan tidak masalah," jelas dia.
Justru menurutnya, instansi negara yang dapat menggunakan senjata lebih meningkatkan komunikasi. Mengingat, pada kasus pengiriman senjata, Wiranto sempat mengatakan adanya miskomunikasi.
"Perbaiki komunikasi antarlembaga, bukan justru menyederhanakan aturan pengadaan senjata," kata dia.
Sehingga, kata dia, tidak akan ada lagi perbedaan tafsir antar institusi seperti yang dijelaskan oleh Wiranto.
"Asalkan semua harus jelas. Berapa pucuk yang dibutuhkan masing-masing instansi, spesifikasinya dan tujuannya segala macam supaya tidak ada lagi miskomunikasi," katanya.