Setelah melalui serangkaian drama mulai dari hilangnya Novanto hingga mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, yang bersangkutan akhirnya diseret ke ‘meja hijau’. Sidang perdana kasus korupsi e-KTP yang menjerat terdakwa, Setya Novanto digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (13/12/2017).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu didakwa Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pada dakwaan alternatif, jaksa menyangkakan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK juga menyeret dua orang lainnya dari unsur anggota DPR RI dan salah satu perusahaan yang tergabung dalam proyek pengadaan e-KTP.
Anggota DPR RI periode 2009-2014, Markus Nari menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, karena diduga memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran e-KTP. Dia diduga memperkaya sejumlah korporasi yang terkait dalam pelaksanaan proyek.
Sebagai realisasi permintaan, dia meminta uang sebanyak Rp 5 Miliar kepada Irman. Namun, dia diduga baru menerima sekitar Rp 4 Miliar.
Terakhir, KPK menetapkan Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo, sebagai tersangka. Anang diduga terlibat dalam kasus itu bersama tersangka lainnya merugikan kerugian negara Rp 2,3 Triliun dari nilai paket pengadaan sebesar Rp 5,9 Triliun. Perusahaan Anang tergabung dalam konsorsium yang memenangkan proyek e-KTP tersebut.