"Harusnya dengan motif politik yang bisa mengganggu keamanan negara misalnya. Nah itu baru bisa disebut teroris. Mereka (pemerintah) enggak sepakat dengan itu," ucapnya.
2. Pelibatan TNI
Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.
Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.
Selain itu, TNI tak memiliki kewenangan menindak pelaku terorisme dalam ranah penegakan hukum.
Meski demikian, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pasal pelibatan TNI diatur dalam UU Antiterorisme.
Syafi'i mengatakan, aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres).
"TNI terlibat dalam pemberantasan terorisme itu kan sebuah keniscayaan. Tentang bagaimana pelibatannya tadi sudah disepakati lebih lanjut akan diatur dalam Perpres yang harus selesai paling lama setahun setelah UU disahkan," ujar dia.
Secara terpisah, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, pasal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme pada dasarnya mengacu pada kerangka pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.
Namun, pelibatan TNI harus berada di bawah kewenangan Presiden karena pemberantasan terorisme merupakan tugas pemerintah.
Selain itu, institusi Polri dan TNI sama-sama berada di bawah kendali Presiden sebagai panglima tertinggi.
"Jadi biar Presiden yang mengatur peran itu. Tetap dalam koridor UU yang ada," tutur Arsul.
3. Penyadapan