TRIBUNNEWS.COM– Ternyata Republik Indonesia hampir gagal diproklamasikan pada waktunya. Apa penyebabnya?
Pertama, seminggu sebelumnya, pesawat yang ditumpangi dwitunggal Soekarno-Hatta pada kunjungan ke Dalat, Vietnam, dua kali mendarat darurat dan diserang pesawat Sekutu.
Kedua, Soekarno tidak mau menyatakan kemerdekaan karena enggan melangkahi peran Panitia Persiapan Kemerdekaan. Padahal waktu sangat sempit. Jepang menyerah, namun Sekutu belum mengambil alih kekuasaan atas Indonesia.
Inilah catatan wartawan senior Julius Pour dalam bukunya Djakarta 1945, Awal Revolusi Kemerdekaan, mengenai drama di sekitar 17 Agustus 1945, sebagian sengaja ditulis dengan ejaan lama untuk menunjukkan keotentikannya.
Cukilan bukunya dibuat oleh Mayong Suryo Laksono, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2014 hasil cukilan dari.
Gempuran pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur berhasil menekan pasukan Jepang di Asia Tenggara. Ketika mereka makin mendekati Tokyo, situasi pemerintahan dalam negeri Jepang dibuat makin buruk.
Baca: Proses Panjang Membuat Duplikat Bendera Pusaka, Diwarnai Hujan Tangis
Pada 7 Juli 1944, Kabinet Jepang rontok. Jenderal Kuniaki Koisi dilantik menjadi perdana menteri menggantikan Jenderal Hideki Tojo. Penguasa baru segera memperbarui janjinya bahwa Indonesia akan segera diberi kemerdekaan.
Dalam situasi transisional itu Jepang masih membagi wilayah Indonesia dalam tiga komando: Djawa dan Madoera di bawah Angkatan Darat XVI, Soematera di bawah kendali Angkatan Darat XXV, dan wilayah lainnya di bawah kendali Angkatan Laut bermarkas di Makassar.
Kedua angkatan tersebut di bawah kendali Marsekal Pangeran Terauchi, Panglima Besar Wilayah Selatan yang berkedudukan di Dalat, Indochina (sekarang Vietnam).
Maka pada awal Mei 1945, terbentuklah Dokuritsu Junbi Cosakai atau PPOPKI (Panitia Penjelidik Oeroesan-oeroesan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang didirikan melalui Maklumat Gunseikan No. 23 tanggal 29 April 1945.
Ketuanya adalah dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat yang telah purna tugas sebagai dokter pribadi Soesoehoenan Pakoe Boewono X, dibantu dua orang wakil, yaitu Yasuo Ichibangase (orang Jepang sekaligus anggota istimewa), dan Raden Pandji Soeroso yang merangkap sekretaris.
Di luar tiga orang itu, PPOPKI memiliki 60 anggota. Sebanyak 54 anggota adalah orang Indonesia dari Djawa, Soematera, Soelawesi, dan Maloekoe; empat orang warga keturunan Cina, satu orang keturunan Arab, dan satu keturunan Eropa.
Juga ada tujuh orang Jepang yang merupakan anggota luar biasa, boleh mengikuti sidang tapi tidak memiliki hak suara.
Sidang berlangsung dalam dua masa persidangan. Yang pertama 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Padahal pada 8 Mei 1945, Jerman menyerah kepada Sekutu, sehingga sejak saat itu Jepang harus berperang sendiri.