News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

HUT Kemerdekaan RI

Drama Menjelang 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan RI Nyaris Gagal

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bung Karno dan Bung Hatta saat membacakan teks proklamasi.

Sidang kedua berlangsung pada 11-17 Juli 1945. Perdebatan dalam sidang-sidang tersebut berlangsung amat sengit dan alot. Soal batasan wilayah, soal bentuk negara, soal identitas bangsa dengan hak-hak-nya, dan pelbagai masalah lain.

Tapi beberapa poin penting berhasil disepakati. Pada 22 Juni misalnya, dirumuskan Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Kemudian pada sidang 16 Juli disusun Rancangan Oendang-oendang Indonesia Merdeka.

Baca: Besok Bertugas, Ini Fakta-Fakta Paskibraka, Ada Hukumannya Jika Bendera yang Dikibarkan Terbalik

Masa tugas PPOPKI berakhir pada 7 Agustus 1945. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Dokoritsu Junbi Inkai, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta.

Beranggota 21 orang termasuk ketua dan wakil ketua, yaitu dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, Ki Bagoes Hadi-kusumo, Otto Iskandar Dinata, B.P.H. Poeroebojo, G.P.H. Soerjo­hamidjojo, Soetardjo Kartohadiku­sumo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, R.H. Abdoel Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, dr. Mohammad Amir, Mr. Abdoel Abbas, dr. Ratulangie, Andi Pangerang, Mr. Latuharhary, Mr. I Goesti Ketoet Poedja, A.H. Hamidan, Raden Pandji Soeroso, K.H.A. Wahid Hasjim, dan Mr. Mohammad Hasan.

Surat kabar Asia Raja edisi 7 Agustus 1945 menulis, “Soekarno berkomentar positif soal PPKI. Kalau PPOPKI merupakan bentukan pemerintahan tentara pendudukan (termasuk menseleksi calon anggotanya oleh penguasa militer, Red.), PPKI jelas merupakan panitia bangsa Indonesia karena tidak seorang Jepang pun menjadi anggota.”

Panitia bekerja cepat dan efektif. Tapi keraguan muncul karena dalam percaturan regional, sang pemberi kemerdekaan, Jepang, makin terdesak. Walau tentara Jepang masih ada dan secara ad­ministratif masih hadir, udara Asia Tenggara telah dipenuhi pesawat tempur Sekutu.

Tapi keraguan itu sirna ketika Soekarno – Hatta (juga dr. Radjiman dan dokter pribadi Soekarno, dr. Soeharto) diundang Marsekal Pangeran Hisaichi Terauchi, Panglima Besar Jepang Wilayah Selatan, di Dalat, dan mendapat jaminan untuk mengawal transisi menuju kemerdekaan.

Penerbangan rahasia

Pukul 05.00, sebuah pesawat udara dengan dua baling-baling tinggal landas dari bandar udara Kemajoran, Djakarta. Para pe­numpangnya adalah Soekarno, Hatta, dr. Radjiman, dr. Soeharto, Letkol Nomura dari kantor Gunseikanbu Djakarta, Kolonel Sun­kichito Miyoshi sebagai penerje­mah, dan beberapa orang Jepang.

Tujuannya, meski hanya sedikit orang yang tahu, adalah Dalat, kota wisata di Vietnam yang dijadikan markas tentara Jepang Wilayah Selatan. Penerbangan itu bersifat rahasia mengingat Sekutu mulai mendesak dan banyak orang me­musuhi Soekarno.

Tapi tokoh-tokoh nasional itu sesungguhnya juga tidak tahu apa yang dikehendaki Marsekal Terauchi dengan mengundang mereka.

Siang hari sampai di Singapura, yang waktu itu masih bernama Syonanto, dan disambut Mayor Jenderal Shimura, perwira staf Markas Besar Militer Wilayah Selatan, untuk singgah sebentar. Menurut catatan Hatta, “Selepas tengah hari, rombongan kami lang­sung melanjutkan penerbangan menuju Saigon.”

Sekitar pukul 19.00 waktu se­tempat, Soekarno merasa mereka sudah hampir sampai. Namun pemandangan ke bawah tertutup awan dan kabut tebal menyeli­muti wilayah pendaratan. Apalagi suasana gelap. Pilot tak berhasil menemukan landasan dan me­milih sebuah padang rumput untuk pendaratan darurat.

Terjadilah guncangan keras yang tak hanya membuat semua barang jatuh ber­serakan, tapi tubuh dan kepala para penumpang juga terbentur-bentur. Sekelompok prajurit bersenjata menyambut mereka dan menjelas­kan posisi tempat itu: 100 km dari Saigon.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini