TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarnya keputusan dari Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Versi Sovereign, semakin menegaskan bahwa BANI yang beralamat di Wahana Graha Mampang sebagai pemegang merek BANI yang sah.
“Dengan adanya putusan penolakan PK tersebut, seharusnya BANI versi Sovereign sudah menghentikan segala aktifitasnya, atau berganti nama, karena mereka sudah tidak memiliki hak untuk menggunakan nama tersebut,”. Demikian diungkapkan Pengamat Birokrasi sekaligus Chairman dari Indonesian Bureaucracy dan Service Watch, Nova Andika di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Seperti diketahui dalam undang-undang tentang Perlindungan Merek, terdapat ketentuan tentang adanya ancaman sanksi pidana/perdata atas pelanggaran hak atas merek yang secara resmi terdaftar berdasarkan undang-undang tersebut.
Seperti dikutip dari website resmi MA, hasil putusan bernomor 178 PK/Pdt.Sus-HKI/2018 menyebutkan bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan PK dari Perkumpulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang dalam gugatannya diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Erry Firmanyah.
“Maka hasil putusan Pengadilan Niaga No.34/Pdt-Sus-Merek/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst yang memutuskan bahwa BANI yang didirikan oleh Kadin pada tahun 1977 merupakan pemegang merek BANI yang sah, tetap berlaku setelah ditolaknya upaya PK Erry Firmansyah,” ujar Nova.
Selain itu juga, Nova menyebutkan bahwa dalam putusan MA Nomor 232 K/TUN/2018 MA juga telah memenangkan BANI yang diketuai Husseyn Umar tersebut, dan Menkumham sendiri berdasarkan putusan tersebut, dengan SK No. AHU-38.AH.01.12 Tahun 2018 tanggal 16 Agustus 2018 telah mencabut status Badan Hukum BANI Versi Sovereign.
“Bayangkan kegaduhan yang akan terjadi dalam dunia usaha, seandainya BANI Versi Sovereign masih tetap menggunakan nama BANI, ketika dalam klausul perjanjian kontrak kerjasama, perusahaan menunjuk BANI sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa, nah ketika terjadi sengketa, akan timbul masalah baru karena ada 2 nama BANI,” ujarnya.
Menurutnya, dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak diatur secara tegas tentang pendirian lembaga arbitrase. Oleh sebab itu, ia berpendapat sah-sah saja mendirikan sebuah lembaga arbitrase. “Tapi yang saya heran kenapa namanya harus sama dengan lembaga yang telah puluhan tahun eksis dan menyelesaikan ribuan kasus sengketa,” tegasnya.
Di sisi lain, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) No. SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30 November 1977 tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Kadin menunjuk BANI yang pada waktu ini dipimpin oleh Husseyn Umar dalam menyelesaikan sengketa.
Untuk memperkuat hal itu, Kadin juga telah mengeluarkan surat edaran bernomor 1507/DP/X/2018 yang ditandatangani oleh Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani pada 3 Oktober 2018.
Dalam surat edaran tersebut, Kadin menyatakan bahwa BANI (Mampang) didirikan oleh Kadin Indonesia melalui Surat Keputusan Kadin No. SKEP/152/DPH/1977 tertanggal 30 November 1977 dan susunan kepengurusan pertamanya ditetapkan dengan Surat Keputusan Kadin No. SKEP/154/DPH/1977 tertanggal 3 Desember 1977.
Selanjutnya, Kadin menyatakan bahwa dengan dilahirkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30/1999), maka keberadaan BANI sebagai entitas lembaga, dilindungi oleh UU No. 30/1999.
“BANI dibentuk oleh Kadin Indonesia yang merupakan suatu organisasi wadah para pengusaha, sehingga keberlangsungan objeknya ditetapkan secara demokratis,” demikian bunyi surat edaran tersebut.