Warga pendatang yang tidak jelas pekerjaannya akan dipulangkan. Tapi kebijakan itu rupanya tidak berlanjut.
"Masalah yang mungkin akan timbul di kota yang baru itu adalah sistem tata nilainya. Apakah kota itu bisa dikembangkan dengan memperhitungkan persoalan sosial?" Yayat menyangsikan.
Masalahnya, kita selalu gagal dalam melakukan pencegahan dan penegakan aturan.
Contohnya kawasan Otorita Batam, di Kepulauan Riau, yang sudah diatur sedemikian rupa tapi tak jua luput dari permasalahan sosial, akibat tidak bisa mengendalikan masuknya penduduk ke pulau itu.
Untuk biaya pembangunan sebuah kota, pastilah sangat mahal. Jika diasumsikan satu juta orang yang pekerjaannya terkait dengan pemerintahan saja, Herdianto mengkalkulasi angka kasar paling tidak dibutuhkan Rp46 triliun (ini perkiraan biaya tahun 2008).
Tapi megaproyek skala nasional itu bukan tidak bermanfaat terhadap negeri ini, khususnya terhadap perkembangan ekonomi.
Perpindahan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, tahun 1960, adalah contoh sukses pemerataan pembangunan karena ibukota secara geografis berada di tengah-tengah negara.
Atau perpindahan ibukota Jepang, Kyoto ke Tokyo pada tahun 1816, yang disebut-sebut menandai awal kemajuan negeri Matahari Terbit itu.
Setidaknya dalam pandangan Paulus, perpindahan ibukota dapat menciptakan nukleus baru, sehingga tersedia alternatif kota lain selain Jakarta.
Secara bisnis mungkin saja kota itu tidak menarik, tapi memang sebaiknya sebuah ibukota tidak harus identik dengan pusat aktivitas bisnis yang ramai.
Kondisi ini mirip di negara-negara maju - ibukotanya bukan merupakan kota perdagangan dan bisnis terbesar. Misalnya New York dengan Washington, DC, atau Amsterdam dengan Den Haag.
Letak calon ibukota juga tidak harus dekat dengan pelabuhan, atau artinya bisa saja merupakan daerah pedalaman.
Asalkan infra-struktur cukup memadai, seperti jaringan transportasi darat dan udara serta adanya jaringan telekomunikasi.
Kota ini pun nantinya bisa dijadikan pengembangan hal-hal lain berskala nasional, seperti misalnya Putera Jaya yang merupakan pusat administrasi pemerintahan Malaysia sekaligus merupakan kawasan pengembangan teknologi informasi.
Pilihan ibukota pun bisa mengarah kepada pengembangan kota-kota menengah di Indonesia untuk dikembangkan menjadi pusat pemerintahan.
Misalnya di Palangkaraya, Subang, Sukabumi, atau Magelang. Tapi jika itu dilakukan tanpa konsensus nasional, menurut Yayat, nanti setiap daerah akan berebut untuk menjadi ibukota negara.
Sayangnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki kondisi infrastruktur yang sama untuk menjadi sebuah ibukota negara.
Masalah paling mendasar, misalnya pemenuhan kebutuhan energi yang bisa jadi kendala serius.
"Listrik di luar Jawa ini kita tahu sendirilah kondisinya, begitu terbatas," tutur Yayat menunjuk kawasan di Kalimantan dan Sulawesi.
Faktor energi ini tak kalah penting, di samping masalah ketersediaan sarana dan prasarana lain yang masih minim, jika ingin menempatkannya di luar Pulau Jawa.