Tradisi dissenting opinion di Indonesia awalnya dilakukan di Pengadilan Tata Niaga.
Walaupun, kata Jimly, pengadilan itu terkenal hanya di kalangan penguasaha saja.
"Jadi, boleh jadi yang pertama kali mengenalkan tradisi dissenting opinion adalah MK," tuturnya.
Jimly berpendapat, karena alasan tradisi itu, maka jumlah hakim sebenarnya tidak perlu ditambah, tetapi mengenai proses pengangkatan dan masa jabatan hakim perlu diatur.
Menurutnya, proses pengangkatan hakim MK itu harus diperjelas apakah merepresentasikan 'dipilih oleh' atau 'dipilih dari'.
"Saya pengalaman dulu menyampaikan hal ini ke DPR. Tetapi, suasana yang saya rasakan waktu itu, saya malah dicurigai seperti ingin menjegal sesuatu. Padahal, maksud saya prinsip ‘dipilih oleh’ yang harus ditegaskan dalam pengangkatan hakim MK," tegasnya.
Ia juga menegaskan, dalam penggantian RUU MK ke depannya harus mampu memberikan ketentuan bagi peraturan turunannya.
Karena desain RUU MK kedepan sudah waktunya disusun secara lebih tajam dan komprehensif.
"Misalnya terkait dengan masa jabatan. Pada RUU MK nantinya, hakim itu cukup menjabat 1 periode saja. Karena dengan lebih dari satu periode hakim itu mudah mendapatkan keuntungan dengan jabatannya tersebut," jelasnya.