2. Tanggapan Jusuf Kalla
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai wajar apabila pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat masih berlanjut hingga saat ini.
Melansir Kompas.com, Jusuf Kalla menilai, pemblokiran masih dibutuhkan demi meredam penyebaran informasi hoaks yang berpotensi memperkeruh situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sana.
"Itu (pemblokiran akses internet) kan untuk meredam. Karena diketahui, gelora suasana (kerusuhan) itu kan karena pengaruh medsos," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
"Karena itulah, dalam kondisi ini, internet dibatasi dulu," lanjut dia.
Lagi pula, Wapres Kalla mengatakan pembatasan akses internet itu hanya khusus pada fitur pengiriman gambar, bukan seluruh fitur percakapan.
"Anda kan tetap bisa berhubungan (melalui) WA (WhatsApp), cuma tidak bisa ada gambarnya. Itu kan untuk menghilangkan hoaks tadi, itu hanya untuk keadaan sementara," kata dia.
Wapres Kalla juga menyoroti pendapat yang mengatakan bahwa pembatasan akses internet ini berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian di bumi Papua.
Justru, Kalla menilai, kebijakan tersebut demi melindungi stabilitas perekonomian di Papua.
"Mana lebih banyak menghambat kegiatan ekonomi? Demo besar-besaran atau satu-dua orang yang mengikuti internet? Kan tetap bisa nonton TV, tetap bisa berhubungan, kan tidak (masalah). Hanya informasi-informasi yang tidak benar itu yang ditahan," kata Kalla.
Baca: BERITA POPULER: Wiranto Sebut Adanya Penumpang Gelap di Balik Kerusuhan yang Terjadi di Papua
3. Polri: Kondisi di Papua Bisa Lebih Parah Lagi kalau Internet Tidak Diblokir
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan bahwa pembatasan internet dilakukan untuk tujuan yang lebih baik dengan meminimalisasi konten negatif yang dapat memprovokasi massa.
"(Pembatasan internet) memang salah satu, bisa memicu, cuman kalau itu enggak diblokir, tambah lebih parah lagi," ujar Dedi saat ditemui Kompas.com di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (31/8/2019).
Pasalnya, lanjut Dedi, selain dugaan adanya provokasi di lapangan, polisi menduga masyarakat bertindak anarkis karena provokasi dari konten di media sosial.