Oleh: TM Mangunsong SH
TRIBUNNEWS.COM - Tok! Palu pun diketok.
Sah! Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disahkan menjadi UU, Selasa (17/9/2019).
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya butuh waktu 13 hari untuk merevisi dan mengesahkan UU KPK, 5-17 September 2019, atau super kilat.
Mungkinkah Presiden Joko Widodo mencium aroma faksionalisasi di tubuh KPK, antara faksi “Taliban” dan faksi “India”, sehingga harus “ditertibkan”?
Dengan UU yang baru, posisi KPK sebagai lembaga superbody pun dijungkirbalikkan. Betapa tidak? Kini KPK memiliki Dewan Pengawas.
Bila mau menyadap, KPK harus minta izin Dewan Pengawas itu.
KPK juga boleh menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Baca: Polemik Revisi UU KPK: Mahfud MD Angkat Bicara, Busyro Muqoddas Ungkap soal Kelompok Taliban
Status penyelidik dan penyidik KPK akan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Itulah empat poin yang ditolak publik, karena berpotensi melemahkan KPK.
Sebagai aktivis dan praktisi hukum, sesungguhnya saya tidak sependapat dengan revisi UU KPK.
Tapi, ketika Presiden dan DPR sudah berkehendak, siapa yang bisa menolak ketika keduanya menggunakan hak konstitusionalnya?
Sesuai amanat Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Presiden dan DPR-lah yang berwenang menyusun undang-undang.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Selanjutnya kiranya kita bisa memetik hikmah atau menemukan blessing in disguise dari peristiwa ini.
Katakankah revisi UU KPK itu sebagai malapetaka, selanjutnya kita harus bisa menemukan berkah di balik malapetaka itu.
Misalnya, terkait isu adanya faksi “Taliban” dan faksi “India” di tubuh KPK.
Kembali ke revisi UU KPK, tampaknya ada dua pasal lain yang nyaris luput dari perhatian publik, yakni Pasal 43A ayat (1) dan Pasal 45A ayat (1), tantang persyaratan menjadi penyelidik dan penyidik KPK.
Pasal 43A ayat (1) berbunyi, “Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara; b. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan; c. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan d. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.”
Pasal 45A ayat (1) berbunyi, “Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara; b. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan; c. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan d. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.”
Bila mencermati poin c, tampaknya kedua pasal tersebut sengaja diciptakan untuk “menghabisi” Novel Baswedan and the gang, yang selama ini diasosiasikan sebagai faksi “Taliban” di KPK.
Setelah mengalami serangan teror air keras pada 11 April 2017 di dekat rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebelah mata Novel mengalami kerusakan.
Dua pasal itulah yang bisa menjadi ganjalan bagi Novel bila ingin tetap menjadi penyelidik dan penyidik KPK setelah pekerjaan itu ia lakoni selama 12 tahun tanpa hambatan.
Lantas apa hubungannya dengan faksi-faksi di KPK? Faksi “Taliban” dikonotasikan sebagai Novel Baswedan and the gang, yakni penyidik KPK yang berasal dari Polri, namun kemudian mereka membelot dan tidak setia lagi kepada institusi asalnya. Kacang lupa kulitnya.
Faksi inilah yang diduga sempat menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka suap saat hendak mencalonkan diri menjadi Kepala Polri sehingga kemudian gagal.
Di seberang, ada faksi “India”, yakni para penyidik KPK dari Polri yang masih setia kepada institusi asalnya, sehingga mereka masih bisa di-“remote control” oleh Polri. Faksi “India” inilah yang diduga terlibat dalam kasus penyobekan buku Merah di KPK.
Gesekan antara faksi “Taliban’ dan faksi “India” di KPK mencapai puncaknya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Faksi “Taliban” diduga mendukung Prabowo Subianto, sedangkan faksi “India” diduga mendukung Jokowi.
Kini, setelah revisi UU KPK disahkan DPR, akankah faksi “Taliban” tersingkir dari KPK? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, isu adanya faksi “Taliban” dan faksi “India” di KPK tampaknya bukan isapan jempol belaka.
Sebab itulah, Presiden Jokowi merasa perlu “menertibkan” KPK agar di dalamnya tidak ada faksi-faksi lagi. Salah satunya dengan revisi UU KPK itu.
Jika Jokowi tak melihat gelagat atau mencium aroma sangit di KPK ada faksi-faksi, mungkin tidak akan secepat itu ia menyetujui revisi UU KPK yang disodorkan DPR. Pasalnya, pada 2016 Jokowi pernah menolak usulan revisi KPK yang diajukan DPR.
Jadi, tak akan semudah itu meyakinkan Jokowi bila memang tidak ada sesuatu yang genting di tubuh KPK.
Akankah faksi “India” kemudian menang di KPK, menggantikan dominasi faksi “Taliban”?
Kita juga tidak tahu pasti. Yang jelas, bila Presiden Jokowi benar-benar hendak “menertibkan” kondisi internal KPK, maka semua faksi harus “dihabisi”, bukan hanya faksi “Taliban”.
Di KPK tidak boleh ada lagi faksi-faksian.
Tidak itu saja, dengan revisi UU KPK, lembaga antirasuah ini juga harus dikembalikan ke khittah kelahirannya, di mana dalam menjalankan tugasnya, KPK berpedoman pada lima asas, yakni kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
KPK harus independen, profesional, dan proporsional.
KPK tidak boleh ditarik-tarik untuk kepentingan politik pihak mana pun.
Kepentingan KPK adalah semata-mata menegakkan hukum dan keadilan!
TM Mangunsong SH: Praktisi Hukum/Ketua DPC Peradi Jakarta Pusat.