TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia digital dan siber Indonesia makin maju.
Pengguna digital juga makin banyak, karena itu perlu aturan yang kuat dan aman.
Baca: RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dibedah di Kampus Paramadina
Keamanan siber digital merupakan tanggungjawab multi aktor, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
"Keamanan siber itu harus diatur, tapi harus dibahas secara mendalam dan melibatkan semua pihak, jangan diam diam, " ujar ahli keamanan siber, Pratama Delian Persada dalam Diskusi Publik RUU Ketahanan dan Keamanan Siber di Universitas Paramadina, Jakarta, (25/9/2019).
Menurut Pratama, proses penyusunan RUU KKS seperti jin.
"Tiba-tiba muncul seperti mahluk jin, kita kaget karena prosesnya sangat cepat di DPR. Padahal banyak pasal - pasal yang perlu dibicarakan secara serius, " ujar Pratama.
Dia mencontohkan, pasal 14 dalam RUU KKS mensyaratkan BIN harus melaporkan pantauan intelijen siber pada BSSN.
"Padahal BIN itu diatur dalam UU 17 tentang Intelijen Negara , BIN hanya boleh melapor pada Presiden, " kata Pratama yang juga Direktur CISSRECC.
Yang lebih berbahaya adalah jika RUU KKS itu disahkan, maka bisa menggangu kebebasan akademik.
"Kalau kita belajar hacking walaupun untuk tujuan pendidikan bisa kena pidana kalau tidak lapor, ini kan membatasi ilmu pengetahuan," ujar doktor alumni UGM tersebut.
Dosen diplomasi siber Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas menambahkan aturan aturan dalam RUU KKS bertabrakan dengan prinsip diplomasi internasional.
"Ada usulan untuk mengangkat dubes atau atase Siber, ini rancu karena bertentangan dengan fungsi diplomat, " ujar Shiskha.
Shiskha menilai RUU KKS ini harus melibatkan Kementerian Luar Negeri terkait sistem diplomasi siber yang diinginkan. " Kalau tiba tiba disahkan, ini justru akan menimbulkan masalah baru, " ujarnya.
Pembicara diskusi lainnya, Damar Juniarto dari SAFENET menilai masyarakat sipil sama sekali tidak dilibatkan dalam RUU KKS.