TRIBUNNEWS.COM, Bantaeng - Untuk mengoptimalkan kinerja dan fungsi irigasi tidak mungkin hanya fokus kepada aspek perangkat keras (pembangunan fasilitas irigasi seperti, DAM, Bendung, Saluran, dll).
Tetapi harus mempertimbangkan aspek perangkat lunak (manajemen irigasi meliputi operasional, pemeliharaan dan manajerial).
Dalam hal ini, tanggung jawab pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di tingkat tersier menjadi tanggung jawab lembaga Perkumpulan Petani Pemakai Air/P3A. Pada beberapa daerah dikenal dengan Mitra Cai, Subak, dan HIPPA.
"Ketika air menjadi faktor pembatas dalam berusahatani, maka ketika itulah peran kelembagaan P3A diuji," ujar Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Sarwo Edhy, Jumat (27/9).
Sarwo Edhy menjelaskan, P3A sebagai pengatur distribusi air dari saluran sekunder ke tersier. Dan saluran tingkat usaha tani harus memiliki kapasitas teknis pengaturan air, memahami kondisi saluran maupun bangunan pelengkapnya yang menjadi tanggung jawabnya.
"Untuk itu kemampuan teknis pengairan dan pemeliharaan infrastruktur menjadi keharusan.
P3A sebagai pensuplai air harus memahami target-target produksi yang harus dicapai sehingga diperlukan pemahaman yang baik akan kebutuhan air bagi pertumbuhan tanaman," jelasnya.
P3A sebagai lembaga sosial harus menyadari kebutuhan air yang semakin meningkat namun ketersediaan air semakin terbatas. Disamping itu, mengingat peran P3A sebagai pengatur air pasti berhadapan dengan berbagai elemen masyarakat sehingga harus mampu mengatasi berbagai konflik kepentingan air.
Khususnya pada saat musim kemarau yang rentan kekeringan dan musim hujan yang berpotensi kebanjiran," tambah Sarwo Edhy.
Mengingat multiperan yang strategis tersebut, mustahil bagi petugas yang diberi amanah untuk membina petani, mengesampingkan aspek pemberdayaan kelembagaan P3A. Karena aspek kelembagaan menjadi faktor kunci keberhasilan pengaturan air irigasi.
"Ada 5 pilar Modernisasi Irigasi. Yaitu keandalan suplai air, keandalan jaringan irigasi, manajemen air, kelembagaan dan sumber daya manusia," sebut Sarwo Edhy.
Salah satu contoh P3A yang mampu mengatasi faktor keterbatasan ketersediaan air adalah P3A Laksono Warih, Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Yang menarik dari kelompok ini adalah upaya mengelola air irigasi yang bersumber dari air tanah, karena kelompok ini berada di luar daerah irigasi.
Meski air sangat terbatas karena posisinya di wilayah perbukitan dengan karakteristik lahan kering, yang selama ini hanya berharap air hujan sebagai sumber air. Namun dengan memanfaatkan sumber air tanah serta pengelolaan kelembagaan yang mencakup area seluas 125 Ha, P3A tersebut mampu mengatasi kesulitan air terutama pada saat musim kemarau.
"Kelompok ini secara swadaya mengembangkan jaringan irigasi sederhana untuk mengalirkan air pada saat hujan, sehingga dapat menanam padi. Pada setiap petakan sawah, anggota kelompok membangun tampungan air berupa embung dengan ukuran rata-rata 250x250x200cm serta tampungan air tanah dangkal dengan kedalamam rata-rata 10m untuk menampung air," paparnya.
Pada saat musim kemarau, air dalam embung dan air tanah dangkal ini yang dimanfaatkan oleh anggota kelompok untuk irigasi pertanian dengan model irigasi bertekanan (sprinkler irrigation). Dengan model tersebut, faktanya mampu mencukupi kebutuhan air untuk pertanaman padi/hortikultra sesuai ketersediaan air.