Menurut Irfan, ciri orang yang berpikir radikal, radiks dalam arti positif ada tiga, yakni berpikir komprehensif, berpikir sistematis, dan berpikir universal.
Ia mencontohkan apabila terdapat orang yang merasa benar sendiri maka dirinya tidaklah radikal.
"Jadi kalau merasa diri benar, itu tidak radikal. Orang lain salah semua. Hanya bacanya yang benar, hanya gurunya yang benar, hanya mazhabnya yang benar, hanya kitabnya yang benar, itu tidak objektif namanya, itu subjektif,"
Irfan mengatakan, radikalisasi merupakan proses, di sinilah mulai melenceng makna radikal dari positif menjadi negatif.
Ia mengutip dari buku "Ilusi Negara Islam", bahwasannya radikalisme itu ada empat maknanya dan empat tujuannya.
Pertama, radikalisme ingin merubah keadaan dengan radiks, yakni sampai tuntas ke akar-akarnya.
Kedua, radikalisme menginginkan gerakan secara cepat bukan lamban.
Ketiga dan keempat hampir sama yakni radikalisme memaksakan kehendak, mengatasnamakan agama dan menggunakan kekerasan.
"Kita harus pahami secara radikal juga ini kata radikal, radiks. Jangan sepotong-sepotong. Kita harus secara holistik dari hulu ke hilir," tegasnya.
Sebelumnya, isu radikal kembali mencuat setelah Menteri Agama Fachrul Razi mendengungkan tentang penggunaan cadar di masyarakat.
Masalah ini kemudian menjadi polemik di masyarakat terkait juga penggunaan celana cingkrang.
Tidak hanya itu, larangan dikeluarkan atau dinyatakan di beberapa instansi yang tidak mengizinkan pegawai negeri di instansi tersebut untuk memakai celana cingkrang dan cadar. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)